Tan Talanai adalah seorang raja yang pernah memerintah di sebuah kerajaan di Jambi pada sekitar pertengahan abad ke-15 Masehi. Sang raja memiliki seorang bayi laki-laki yang diharapkan dapat meneruskan tahta sebagai Raja Jambi. Namun, baru beberapa hari setelah putranya lahir, Raja Tan Talanai justru membuangnya ke lautan lepas. Mengapa Raja Tan Talanai membuang putra kandungnya sendiri ke laut? Lalu, bagaimana nasib anak yang malang itu selanjutnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Tan Talanai Berikut ini.
Pada zaman dahulu kala, Negeri Jambi dipimpin oleh seorang raja yang arif dan bijaksana bernama Dewa Sekerabah atau biasa dikenal si Pahit Lidah. Namun sayang, sang raja tidak mempunyai keturunan sehingga ketika ia wafat, Negeri Jambi menjadi kacau balau. Rakyatnya membentuk kelompok-kelompok dan kemudian saling berperang satu sama lain.
Kabar tentang kekacauan di Negeri Jambi tersebar hingga ke berbagai penjuru. Mendengar kabar tersebut, Tan Talanai yang memerintah di Rabu Menarah, Turki, berambisi untuk menguasai Negeri Jambi. Dengan berbagai upaya, akhirnya ia berhasil mengusai negeri itu dan menjadi raja di sana.
Tan Talanai adalah raja yang arif dan bijaksana sehingga rakyat negeri itu kembali damai, makmur, dan sejahtera. Seluruh rakyat menyukai gaya kepemimpinan Tan Talanai. Sang raja pun amat bahagia karena merasa hidupnya telah sempurna. Selain memiliki kekuasaan dan dihormati oleh rakyatnya, ia juga mempunyai harta benda yang melimpah. Namun, ada satu hal yang selalu mengganjal di pikiran Tan Talanai, yaitu karena ia belum mempunyai anak. Ia senantiasa berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar dikaruniai keturunan.
“Ya, Tuhan! Berilah hamba seorang putra yang kelak akan menggantikan kedudukan hamba sebagai pemimpin di negeri ini,” Tan Talanai memohon dengan khusyuk.
Permintaan Tan Talanai terkabul. Sebulan kemudian, sang permaisuri pun mengandung. Alangkah senangnya hati Tan Talanai mendengar kabar tersebut. Ia selalu berdoa semoga bayinya lahir dengan selamat.
Beberapa bulan kemudian, sang permaisuri melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Tan Talanai menyambutnya dengan perasaan bahagia. Selang tiga hari setelah bayi itu lahir, Tan Talanai mendapat laporan dari ahli nujum istana bahwa kehadiran bayi itu justru akan membawa malapetaka bagi kerajaannya.
“Malapetaka apa yang kamu maksud?” tanya Tan Talanai kepada ahli nujumnya dengan cemas.
“Suatu saat jika telah dewasa, anak itu akan membunuh Baginda,” jawab si ahli nujum.
“Apa katamu? Dia akan membunuhku?” tanya Tan Talanai dengan terkejut, “Oh, ini tidak mungkin terjadi!”
Raja Negeri Jambi itu mulanya ragu dengan apa yang baru saja didengarnya. Namun karena amat percaya dengan ucapan si ahli nujum istana, maka sang raja pun segera memerintahkan patihnya, Datuk Emping Besi, untuk membuang putranya ke lautan.
“Datuk Emping Besi, hanyutkan anak itu ke tengah laut!” titah Tan Talanai.
Datuk Emping Besi sebenarnya tidak tega membuang bayi itu, namun karena perintah raja ia pun terpaksa melakukannya. Sementara itu, sang permaisuri yang mengetahui anak semata wayangnya itu hendak dibuang ke laut menjadi bersedih hati. Ia pun segera membujuk sang raja agar mengurungkan niatnya.
“Kanda, Dinda berharap Kanda tidak membuang putra kita satu-satunya,” pinta sang permaisuri. “Masih ingatkah Kanda bahwa anak itu kita peroleh setelah bertahun-tahun kita menunggu? Tapi, setelah karunia itu datang, justru Kanda hendak menyia-nyiakannya.”
“Tapi, Dinda. Apalah gunanya kita mempunyai seorang putra jika kelak akan membunuh ayahnya sendiri?” sanggah Tan Talanai.
Sang permaisuri pun tidak kuasa mencegah keinginan Tan Talanai. Akhirnya, Datuk Emping Besi bersama beberapa pengawal istana segera memasukkan bayi itu ke dalam peti lalu membuangnya ke lautan lepas. Peti yang berisi bayi itu pun hanyut terbawa arus gelombang laut hingga terdampar di perairan Negeri Siam (sekarang negara Thailand).
Sementara itu, ratu Negeri Siam yang bernama Tuan Putri sedang asyik memancing di laut dengan menggunakan perahu bersama pengawalnya. Saat itu, tiba-tiba ia melihat sebuah peti terapung di permukaan air laut.
“Hai, lihat ada peti yang hanyut?” seru Tuan Putri.
Tuan Putri pun memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengambil peti itu dan dinaikkan ke atas perahu mereka.
“Ayo, cepat buka peti itu!” ujar Tuan Putri penasaran.
“Baik, Tuan Putri!” jawab seorang pengawal seraya membuka penutup peti itu.
Alangkah terkejutnya Tuan Putri karena peti itu berisi seorang bayi laki-laki mungil yang sedang tidur nyenyak.
“Hai, anak siapa ini? Sungguh tega hati orang tuanya yang telah membuangnya,” Tuan Putri berkata dengan perasaan iba..
Setelah diperiksa, ternyata pada dinding peti itu terdapat sebuah tanda yang menunjukkan bahwa bayi tersebut adalah putra Tan Talanai, sang Raja Jambi. Meskipun demikian, Tuan Putri tetap membawa pulang bayi itu ke istananya. Alangkah senangnya hati Tuan Putri karena memang sudah lama ia mendambakan seorang anak.
Sejak itu, putra Tan Talanai itu menjadi salah satu anggota keluarga Kerajaan Siam. Di bawah asuhan Tuan Putri, bayi itu tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan sakti. Ia sangat mahir bermain silat karena sejak kecil ia dilatih ilmu olah kanuragan oleh para pendekar Kerajaan Siam. Selain itu, anak itu juga pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya.
Suatu hari, sepulang dari bermain bersama teman-temannya, anak itu duduk termenung seorang diri di pendapa istana. Hatinya sedih karena teman-temannya sering mengolok-oloknya bahwa ia tidak mempunyai ayah. Menyadari bahwa dirinya memang selama ini hanya dirawat dan dibesarkan oleh Tuan Putri, ia pun segera menemui ibunya itu untuk menanyakan siapa sebenarnya ayahnya.
“Bu, bolehkah Ananda menanyakan suatu hal kepada Ibu?” tanya anak itu.
“Apa yang ingin kamu tanyakan, Putraku?” Tuan Putri balik bertanya.
“Begini, Bu. Ananda malu setiap hari diolok-olok oleh teman-teman kalau Ananda tidak mempunyai Ayah. Kalau boleh tahu siapa sebenarnya ayah Ananda, Bu?”
Mendengar pertanyaan itu, Tuan Putri menghela nafas panjang. Kemudian Tuan Putri menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang raja di Negeri Jambi yang bernama Tan Talanai.
“Lalu, bagaimana Ananda bisa berada di istana ini, Bu?” tanya anak itu bingung.
“Hmmm… keadaan ini memang sangat sulit untuk dipercaya, Putraku,” kata Tuan Putri.
“Apa maksud Ibu?” anak itu semakin bingung.
“Ketahuilah, Putraku. Sebenarnya, aku bukanlah ibu kandungmu. Ibu hanya menemukanmu terapung-apung di tengah laut saat kamu masih bayi dan merawatmu. Kedua orang tuamu saat ini berada di Negeri Jambi,” jelas Tuan Putri.
Mendengar penjelasan itu, anak itu menjadi marah. Ia pun bertekad untuk menghabisi nyawa ayahnya yang telah tega membuangnya sewaktu masih bayi.
“Dasar orang tua tidak berperasaan! Ia pantas dibinasakan!” geram si anak menahan amarah.
Anak itu pun menyusun rencana untuk melakukan penyerangan ke Negeri Jambi pada tahun depan. Tuan Putri yang mengetahui rencana itu, berupaya membujuk anak itu agar mengurungkan niatnya agar tidak terjadi peperangan antara anak dengan orang tuanya sendiri. Namun, anak itu tetap bertekad keras untuk menyerang kerajaan yang dipimpin oleh ayah kandungnya itu. Akhirnya, Tuan Putri secara diam-diam mengirim utusan ke Negeri Jambi untuk memberitahukan Tan Talanai mengenai rencana anaknya itu.
Di Negeri Jambi, Tan Talanai yang telah mendengar berita tersebut menjadi marah. Ia pun memerintahkan para menterinya untuk mempersiapkan pertahanan di sekitar ibukota Negeri Jambi.
Singkat cerita, genap satu tahun sudah berlalu. Putra Tan Talanai bersama para pasukannya sedang bergerak menuju ke Jambi. Setiba di negeri itu, perang antara dua pasukan yang masing-masing dipimpin oleh anak dan ayah itu tidak dapat dihindari. Pasukan sang anak langsung menyerang dan dapat mengalahkan pasukan sang Ayah, yang tersisa hanya Raja Tan Talanai. Pertarungan satu lawan satu pun terjadi. Ayah dan anak itu sama-sama sakti sehingga duel berlangsung dengan seru sampai pada akhirnya Tan Talanai mengalah karena menyadari semua kekhilafannya.
“Baiklah, Putraku. Jika Ananda memang benar-benar ingin membunuh Ayah, ambillah sebuah batu yang runcing lalu tikamkan ke tubuhku. Hanya itu satu-satunya cara yang dapat membunuh Ayah,” kata Tan Talanai. “Tapi, sebelum Ananda lakukan itu, tolong dengarkan dulu penjelasan Ayah. Ayah benar-benar sangat menyesal telah percaya begitu saja pada ramalam ahli nujum yang mengatakan bahwa Ananda akan mencelakai Ayah.”
Mendengar penjelasan dari ayahnya, hati anak itu menjadi luluh. Ia pun memeluk sang ayah.
“Maafkan Ananda, Ayah! Ananda sudah lancang ingin membunuh Ayah,” ucap anak itu sambil meneteskan air mata.
“Sudahlah, Putraku! Ayahlah yang harusnya minta maaf karena telah menyia-nyiakanmu,” kata sang ayah.
Anak itu pun memaafkan semua kekhilafan ayahandanya dan mengajak ayah serta ibu kandungnya untuk tinggal di Kerajaan Siam bersama Tuan Putri. Akhirnya, mereka pun hidup berbahagia. Beberapa tahun kemudian, putra Tan Talanai itu diangkat menjadi raja yang kemudian menurunkan Raja-raja Siam berikutnya. Hingga saat ini, sebagian orang percaya bahwa Raja Siam berasal dari Jambi dan Raja Jambi berasal dari Turki.
* * *
Demikian cerita Tan Talanai dari daerah Jambi. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya kita jangan cepat percaya pada ramalan karena akan berakibat buruk bagi diri kita sendiri, sebagaimana yang dilakukan oleh Raja Tan Talanai. Oleh karena percaya pada ramalam ahli nujum, ia pun tega membuang putra kandungnya sendiri. Perbuatan Raja Tan Talanai tersebut tentu merupakan tindakan yang tidak terpuji.
Pesan moral lain yang terkandung dalam cerita di atas adalah keutamaan sifat pemaaf sebagaimana yang ditunjukkan oleh putra Raja Tan Talanai. Ia dengan lapang dada memaafkan segala kesalahan ayahnya yang telah membuangnya ke lautan. Dengan sifat pemaaf ini, kehamornisan keluarga dapat selalu terjaga dan perselisihan pun dapat terhindarkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar