Kepulauan Talaud adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia dengan jumlah penduduk lebih kurang sembilan ribu jiwa. Menurut cerita yang beredar di kalangan masyarakat setempat, manusia pertama yang menghuni daerah tersebut berasal dari seekor ketam, yaitu jenis kepiting yang berkaki enam dan bersepit. Bagaimana peristiwa ajaib itu bisa terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Alamona Ntautama Ntaloda: Manusia Pertama di Kepulauan Talaud berikut ini.
Alkisah, di sebelah utara Pulau Sulawesi terdapat sebuah daerah yang bernama Kepulauan Talaud. Dahulu, saat belum dihuni oleh manusia, kabupaten yang terletak di kawasan paling utara Indonesia timur ini masih dipenuhi tetumbuhan dan hanya dihuni oleh seekor ketam yang tinggal di puncak Gunung Karakelang. Menurut cerita masyarakat setempat, binatang amfibi tersebut kemudian berubah menjadi seorang manusia laki-laki. Oleh karena tidak memiliki nama, maka manusia laki-laki itu dipanggil Manusia Ketam. Agar dapat bertahan hidup, ia setiap hari berkeliling pulau mencari dedaunan dan buah-buahan untuk dimakan. Ke mana pun pergi, ia juga selalu membawa saputta atau sumpit yang terbuat dari bilah bambu.
Suatu hari, ketika sedang berkeliling di pulau itu, Manusia Ketam tiba-tiba mencium bau harum yang sangat menyengat.
“Mmm… bau apa nih?” gumam Manusia Ketam, “Rasanya aku belum pernah mencium bau harum seperti ini?”
Manusia Ketam sangat penasaran dengan bau harum itu. Ia pun segera mencari sumber bau itu sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Semakin lama bau harum itu semakin menyengat hidungnya.
“Sumber bau harum itu pasti ada di sekitar sini,” gumamnya.
Beberapa saat kemudian, Manusia Ketam sampai di tepi sebuah telaga. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat tujuh wanita cantik sedang mandi di tengah telaga. Mereka adalah para bidadari yang berasal dari Negeri Kahyangan. Manusia Ketam sangat heran karena selama berada di pulau itu ia belum pernah melihat wanita cantik, apalagi bidadari yang secantik itu.
Sebelum para bidadari tersebut mengetahui kedatangannya, Manusia Ketam segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia kemudian mengamati gerak-gerik para bidadari yang sedang asyik mandi.
“Wow, ini pemandangan yang sangat mengagumkan. Sungguh cantik wanita-wanita itu,” gumam Manusia Ketam dengan kagum.
Rupanya, salah satu dari bidadari tersebut tiba-tiba mencium bau manusia.
“Sepertinya ada bau manusia,” kata salah bidadari itu.
Namun, perkataan bidadari itu tidak dihiraukan oleh bidadari lainnya karena mereka sedang asyik bercanda dan bersuka-ria. Sementara itu, Manusia Ketam yang sedang bersembunyi di balik pohon tiba-tiba pandangannya tertuju pada sejumlah kain berwarna-warni yang teronggok di atas batu, tidak jauh dari tempat para bidadari itu mandi. Rupanya, onggokan kain berwarna-warni itu adalah baju dan sayap milik para bidadari tersebut.
Manusia Ketam kemudian berpikir bahwa para bidadari pasti tidak akan bisa terbang tanpa sayap itu. Oleh karena itu, ia bermaksud untuk mengambil salah satu dari onggokan sayap tersebut. Dengan melangkah perlahan-lahan, ia mendekati onggokan kain itu lalu menghisap sayap yang berwarna ungu dengan saputta-nya. Setelah itu, ia segera bersumbunyi di balik pohon.
Hari sudah siang. Saatnya para bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Mereka pun segera naik ke darat. Alangkah terkejutnya salah seorang dari mereka ketika hendak mengenakan pakaiannya.
“Kakak! Apakah kalian melihat sayapku?” tanya bidadari itu.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayapnya itu adalah bidadari bungsu.
“Memang kamu letakkan di mana, Adikku?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama sayap kalian,” jawab si bungsu mulai cemas.
“Wah, jangan-jangan sayapmu diterbangkan angin,” imbuh bidadari yang nomor dua.
“Kalau begitu, ayo kita cari-cari bersama-sama di sekitar tempat ini!” seru bidadari sulung.
Ketujuh bidadari tersebut sudah mencari di sekitar telaga, namun sayap si bungsu belum juga mereka temukan. Karena hari sudah semakin siang, akhirnya enam bidadari yang lain harus segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini,” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan Adik, Kakak! Adik takut tinggal di sini seorang diri,” kata bidadari bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Bungsu! Kami tidak bisa berlama-lama di tempat ini, nanti ayahanda marah,” imbuh bidadari lainnya.
Akhirnya, keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan si bungsu di bumi. Bidadari bungsu pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan meratapi nasibnya yang malang. Manusia Ketam yang tidak tega melihat bidadari bungsu itu terus menangis, terpaksa keluar dari persembunyiannya. Ia lalu menghampiri bidadari bungsu dan menyapanya.
“Hai, gadis cantik! Kenapa kamu menangis?” tanya Manusia Ketam seolah-olah tidak mengetahui penyebab kesedihan bidadari cantik itu.
“Sayapku hilang, Tuan,” jawab putri bungsu sambil menangis tersedu-sedu, “Apakah Tuan melihat sayap saya?”
Manusia Ketam tersenyum dan kemudian mengatakan bahwa sayap itu ada pada dirnya.
“Maaf, putri cantik! Akulah yang mengambil sayapmu. Aku akan mengembalikannya kepadamu tapi dengan satu syarat,” ujar Manusia Ketam.
“Apakah syaratmu itu, Tuan?” tanya Bidadari Bungsu.
“Kamu sungguh cantik dan mempesona. Maukah kamu menjadi istriku?” ungkap Manusia Ketam.
Bidadari Bungsu terdiam. Ia merasa bahwa syarat itu sungguhlah berat baginya karena ia tidak akan mungkin tinggal di bumi. Kedua orang tuanya pasti akan murka kepadanya. Namun karena Manusia Ketam terus menekan dan mengancam tidak akan menyerahkan sayap itu kepadanya, akhirnya ia terpaksa memenuhi syarat tersebut.
“Baiklah, Tuan. Aku terima syaratmu, tapi kamu juga harus memenuhi satu syarat dariku,” ujar Bidadari Bungsu.
“Apakah syaratmu itu, Putri? Katakanlah!” desak Manusia Ketam.
“Setelah kita menikah nanti, kamu harus ikut bersamaku kembali ke Kahyangan,” jawab Bidadari Bungsu.
“Ha, hanya itukah syaratmu Tuan Putri?” tanya Manusia Ketam, “Dengan senang hati, aku bersedia tinggal bersamamu di Negeri Kahyangan”.
Akhirnya, Manusia Ketam dan Bidadari Bungsu menikah. Setelah itu, keduanya terbang bersama menuju ke Negeri Kahyangan. Mereka tiba di sana saat malam sudah larut. Manusia Ketam terheran-heran melihat sebuah pemandangan yang sangat mengagumkan. Tampak sebuah kota yang terang benderang oleh lampu berkelap-kelip dengan sangat indah. Di tengah kota itu berdiri sebuah istana yang amat megah dan luas. Di depan istana terdapat jalan raya yang luas dan bersih. Jalan raya itu terlihat ramai oleh lalu-lalang orang yang lewat. Mereka pun kemudian beristirahat di sebuah kamar yang luas dan indah di dalam istana.
Keesokan hari, Manusia Ketam sangat heran karena kota yang semalam dilihatnya telah berubah menjadi sebuah pohon yang amat besar. Orang-orang yang lalu-lalang pun berubah menjadi burung, termasuk istrinya. Manusia Ketam bersama burung-burung tersebut tinggal di atas pohon. Pagi itu, bidadari bungsu yang telah menjelma menjadi burung terbang mencari makan, sedangkan Manusia Ketam tetap berada di pohon itu menunggu istrinya pulang. Begitu malam tiba, pohon besar itu kembali berubah menjadi kota. Keadaan seperti itu terus berlangsung setiap hari sehingga lama-kelamaan Manusia Ketam menjadi terbiasa.
Suatu hari, bidadari bungsu mengandung. Ia pun segera menyampaikan berita gembira itu kepada suaminya.
“Kanda, kini Dinda telah mengandung,” ungkap bidadari bungsu, “Tapi, setelah anak kita lahir nanti, Dinda meminta Kanda untuk berjanji.”
“Berjanji untuk apa Dinda?” tanya Manusia ketan dengan penasaran.
“Kanda harus berjanji untuk tidak melihat anak kita setelah lahir nanti,” jawab bidadari bungsu.
“Kenapa Dinda? Bukankah dia itu anak Kanda juga?” tanya Manusia Ketam dengan heran.
“Ketahuilah, Kanda! Tidak seorang pun manusia yang boleh tinggal di negeri ini. Oleh karenya, Kanda harus memenuhi janji itu. Jika tidak, Kanda dan anak kita akan diusir dari negeri ini,” jelas Bidadari Bungsu.
Akhirnya, Manusia Ketam pun berjanji untuk memenuhi permintaan istrinya. Beberapa bulan kemudian, Bidadari Bungsu pun melahirkan. Meski demikian, Manusia Ketam tidak bisa meluapkan perasaan bahagianya karena ia tidak boleh melihat darah dagingnya sendiri. Hatinya pun diselimuti oleh rasa penasaran yang amat dalam.
Suatu hari, ketika istrinya sedang pergi mencari makan, Manusia Ketam secara diam-diam menengok ke tempat anaknya diletakkan. Tanpa diduga, ternyata ia hanya mendapati sebutir telur besar di tempat itu. Ia pun semakin penasaran. Telur itu kemudian diambil lalu diamatinya secara seksama. Setelah itu, telur tersebut ia kembalikan ke tempatnya karena takut ketahuan istrinya. Namun, saat ia meletakkan telur itu tidak lagi seperti posisinya semula.
Tak berapa lama kemudian, bidadari bungsu telah kembali. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat posisi telur itu telah berubah.
“Wah, suamiku pasti telah menyentuh telur ini,” gumamnya.
Bidadari Bungsu sangat marah karena mengetahui suaminya telah melanggar janji. Tanpa bertanya-tanya lagi, ia kemudian melemparkan suami dan anaknya yang berwujud telur itu ke bumi. Keduanya pun jatuh di atas tanah Kepulauan Talaud, tempat asal Manusia Ketam semula. Tak ayal, telur itu pun pecah. Sungguh sebuah peristiwa yang ajaib. Dari dalam telur itu keluar seorang bayi perempuan mungil yang amat cantik. Akhirnya, Manusia Ketam pun merawat bayi itu dengan penuh kasih sayang hingga dewasa. Menurut keyakinan masyarakat setempat, perempuan itulah yang kemudian menurunkan orang-orang di Kepulauan Talaud.
* * *
Demikian cerita Alamona Ntautama Ntaloda: Manusia Pertama di Kepulauan Talaud, dari daerah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka mengingkari janji seperti Manusia Ketam akan mendapatkan akibat dari pengingkaran tersebut. Ia dilemparkan oleh istrinya dari Kahyangan karena telah mengingkari janji untuk tidak melihat bayinya. Akibatnya, ia pun berpisah dengan sang istri yang cantik jelita itu.
Pelajaran lain yang terkandung dalam cerita di atas adalah bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur, maka sesuatu itu akan mudah lenyap. Manusia Ketam berhasil menikahi bidadari bungsu karena ketidakjujurannya, yaitu dengan cara menyembunyikan sayap bidadari bungsu. Dengan sayap itu, ia kemudian memaksa bidadari untuk menikah dengannya. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa bidadari bungsu bersedia menikah dengan Manusia Ketam karena terpaksa, bukan berdasarkan cinta dan kasih sayang yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar