Pada zaman penjajahan Belanda, di daerah Kemayoran tinggal seorang pemuda bernama Murtado. Ayahnya adalah anak mantan lurah di daerah tersebut. Murtado adalah anak yang baik. Ia suka menolong orang yang membutuhkannya. Maka Murtado disenangi oleh penduduk di kampung tersebut. Selain itu, ia tekun menuntut ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan lainnya. Tak ketinggalan, ilmu bela diri juga dipelajarinya hingga ia menjadi seorang jagoan yang rendah hati.
Pada waktu itu, keadaan masyarakat di daerah Kemayoran tidak tenteram. Penduduk selalu diliputi rasa ketakutan akibat gangguan dari jagoan-jagoan Kemayoran yang berwatak jahat. Belum lagi pajak yang ditarik oleh Belanda dan Cina sangat memberatkan. Padahal, sebagian besar penduduk adalah petani miskin dan pedagang kecil-kecilan.
Sebenarnya daerah itu dipimpin oleh orang pribumi yang bernama Bek Lihun dan Mandor Bacan. Namun keduanya telah menjadi kaki tangan Belanda sehingga mereka sangat kejam dan hanya memikirkan keuntungan pribadinya saja.
Pada suatu hari, di kampung Kemayoran diadakan derapan padi. Acara itu boleh dilaksanakan dengan syarat setiap lima ikat padi yang dipotong, satu ikat adalah untuk yang memotong, sedangkan yang empat ikat untuk kompeni. Mandor Bacan ditunjuk mengawasi jalannya upacara itu.
Dalam upacara itu, ada seorang gadis cantik ikut memotong padi. Murtado pun tak ketinggalan ikut di samping gadis tersebut. Mereka rupanya sudah lama menjalin kasih. Tiba-tiba Mandor Bacan melihat ke arah gadis itu dan berniat kurang ajar. Niat itu berhasil digagalkan Murtado. Rupanya Mandor Bacan tidak terima. Lalu terjadilah perkelahian. Dalam perkelahian itu Murtado memperlihatkan ketinggian ilmu beladirinya, sehingga Mandor Bacan dapat dikalahkan dan lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu kemudian melapor kepada Bek Lihun.
Mendengar laporan mandornya, Bek Lihun menjadi marah. Berbagai upaya dilakukan untuk membunuh Murtado. Namun semua upaya itu dapat digagalkan Murtado. Sampai suatu hari, Bek Lihun mencoba mencelakai kekasih Murtado. Maka hilanglah kesabaran Murtado. Ditendang dan dihajarnya Bek Lihun hingga babak belur. Akhirnya Bek Lihun minta ampun dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Setelah kejadian-kejadian itu, maka mulai insyaflah Bek Lihun. Dia mulai menghargai Murtado.
Ketika itu beberapa gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa mulai mengganas di Kemayoran. Setiap malam mereka merampas harta benda penduduk. Kadang-kadang juga melakukan pembunuhan. Menghadapi hal ini Bek Lihun merasa kewalahan. Bahkan ia berkali-kali mendapat teguran dari kompeni karena tidak dapat menjaga keamanan di kampungnya sehingga pajak-pajak untuk kompeni tidak berjalan lancar.
Bek Lihun akhirnya meminta bantuan kepada Murtado. Murtado yang menyadari bahwa ia juga bertanggung jawab atas keamanan kampung tersebut menyetujui permohonan Bek Lihun. Bersama dua orang temannya yang bernama Saomin dan Sarpin, Murtado mencari markas perampok itu di daerah Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ditemukan. Kemudian mereka pergi ke daerah Kerawang. Di sana gerombolan Warsa dapat dikalahkan. Warsa sendiri mati dalam perkelahian itu. Oleh Murtado dan teman-temannya semua hasil rampokan gerombolan itu diambil dan dibawa kembali ke Kemayoran. Kemudian dikembalikan lagi kepada pemiliknya masing-masing. Semua rakyat di daerah Kemayoran berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Murtado.
Penguasa Belanda pun sangat menghargai jasa-jasa Murtado. Mereka ingin mengangkatnya menjadi bek di daerah Kemayoran menggantikan Bek Lihun. Tetapi tawaran Belanda ini ditolak Murtado, karena dia tidak ingin menjadi alat pemerintah jajahan. “Lebih baik hidup sebagai rakyat biasa tetapi ikut menjaga keamanan rakyat,” gumamnya. Murtado pun aktif berjuang untuk membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajahan, penindasan, dan pemerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar