Prasasti Munjul adalah sebuah prasasti bertuliskan aksara Pallawa yang terletak di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Prasasti dengan bahasa Sansekerta tersebut ditulis oleh raja ketiga Kerajaan Tarumanegara, Raja Purnawarman (395-434 M.). Menurut cerita, Purnawarman menulis prasasti itu untuk mengabadikan sebuah peristiwa besar yang terjadi di daerah Munjul. Peristiwa apakah itu? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Prasasti Munjul berikut ini.
Dahulu, perairan Ujung Kulon di sekitar Selat Sunda dikuasai oleh para bajak laut yang menjadi ancaman bagi para nelayan di daerah itu. Kaum perompak itu sering merampas ikan hasil tangkapan para nelayan. Pada masa pemerintahan Raja Purnawarman, terdapat suatu gerombolan bajak laut yang beranggotakan 80 orang. Kelompok bajak laut yang sering beraksi di perairan wilayah Kerajaan Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa berubah wujud sesuai kehendaknya.
Pada suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok perahu yang ditumpangi oleh tiga orang nelayan. Namun, baru saja para perompak itu memindahkan ikan hasil rampasan ke kapal mereka, tiba-tiba dari kejauhan terlihat sebuah kapal besar berbendera naga sedang menuju ke arah mereka. Kapal besar itu ternyata adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak laut justru merasa senang karena akan memperoleh harta rampasan yang banyak. Tanpa membuang waktu lagi, ia segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang kapal kerajaan itu.
Terjadilah pertempuran sengit antara pasukan kerajaan yang ada di dalam kapal dengan bajak laut. Pasukan kerajaan dipimpin oleh seorang menteri dengan dibantu oleh seorang laksamana. Dalam pertempuran itu, kubu bajak laut ternyata lebih kuat daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana, dan sejumlah awak kapal kerajaan tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke tengah laut. Semua harta benda yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para begundal itu.
Seminggu berselang, terlihat dua nelayan sedang memancing di laut. Mereka adalah Wamana dan Bhimaparakrama atau Bhima. Ketika sedang asyik memancing, tiba-tiba Bhima melihat mayat yang mengapung di atas air.
“Hai lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera menghampiri sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu. Ternyata orang itu masih hidup, hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang amat parah. Kedua nelayan itu pun segera membawa tubuh orang malang tersebut ke pantai untuk diberi pertolongan.
“Hai, sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat melihat pakaian yang dikenakan orang itu.
“Kamu benar,” sahut Bhima.
Setelah siuman, prajurit itu pun menceritakan peristiwa yang telah dialaminya mengenai kejadian perompakan seminggu yang lalu. Setelah mendengar cerita itu, Wamana dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana untuk melapor kepada Raja Purnawarmana.
“Betul-betul kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata Raja Purnawarman geram begitu mendengar laporan tersebut. “Dengan ini, aku menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja.
Keesokan harinya, puluhan kapal perang kerajaan bertolak meninggalkan pelabuhan dan dipimpin langsung oleh Raja Purnawarman yang didampingi oleh Panglima Cakrawarman, Senopati Arwajala, serta Nagawarman. Wamana dan Bhima pun ikut serta dalam rombongan itu. Setelah berlayar selama beberapa hari, pada suatu malam armada kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon. Dalam kegelapan yang mencekam, tampak dua titik cahaya kecil di tengah lautan.
“Hai, lihat cahaya itu! Aku yakin itu adalah penerangan kapal bajak laut,” kata Panglima Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas mereka melaporkan hal ini kepada sang Raja.
Raja Purnawarman kemudian segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk bersiap-siap menyerang. Puluhan kapal perang perlahan-lahan mendekati kapal milik bajak laut itu dan lalu mengepungnya.
Sementara itu, gerombolan bajak laut yang berada di dalam kapal itu tidak menyadari kehadiran pasukan kerajaan. Rupanya, mereka sudah terlelap, kecuali tiga orang yang terlihat masih terjaga. Itu pun mereka sedang asyik bermain judi di bawah penerangan lampu damar. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Ketika mereka hendak beranjak, ratusan mata tombak menyerbu ke kapal mereka.
“Kapal kita diserang... Kapal kita diserang!” seru ketiga bajak laut itu panik.
Pemimpin bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain terbangun dari tidur mereka. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dengan melompat ke jendela untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Alangkah terkejut ia saat melihat puluhan kapal milik kerajaan telah mengepung kapal mereka.
“Kapal kita dikepung! Kapal kita dikepung!” teriaknya.
Belum sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang menggema.
“Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”
Begitu terompet itu selesai berbunyi tiga kali, ratusan tombak dan anak panah meluncur ke kapal gerombolan bajak laut. Bersamaan dengan itu, suara-suara kayu hancur dan pekikan orang-orang yang terkena tombak dan anak panah pun terdengar. Tidak ada perlawanan yang berarti dari para bajak laut. Akhirnya, mereka pun dapat ditaklukkan sebelum pagi menjelang. Dari 80 anggota bajak laut tersebut, 27 orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya menjadi tawanan kerajaan.
Setelah suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa prajurit lain segera naik kapal bajak laut untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi, namun tidak seorangpun ditemukan.
Ketika Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba terdengar suara yang mencurigakan. Cepat-cepatlah ia kembali masuk ke kapal. Ternyata dugaannya benar. Ia menemukan seorang pria yang berseragam prajurit kerajaan yang baunya amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu justru melompat ke laut. Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung bersama pasukan kerajaan.
Sementara itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang menanyai satu persatu para tawanan mengenai siapa pemimpin mereka. Setelah ditanya, tak seorang dari mereka yang mengetahuinya karena pemimpin mereka selalu berubah wujud. Namun, salah seorang dari tawanan itu memberitahukan mengenari ciri-ciri pemimpin mereka yaitu berbau amis dan berpenyakit asma. Wamana yang mendengar keterangan tersebut curiga terhadap prajurit yang melompat ke laut tadi dan menceritakannya kepada Raja.
Setelah mendengar keterangan itu, rombongan sang Raja segera bertolak menuju Pantai Teluk Lada. Selanjutnya mereka menyusuri aliran Sungai Cidangiang hingga masuk ke daerah pedalaman. Setiba di sebuah kampung di tepi sungai yang kini bernama Desa Lebak, mereka disambut meriah oleh tetua kampung dan para warga. Untuk merayakan keberhasilan para pasukan kerajaan dalam menumpas gerombolan bajak laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan mengabadikan peristiwa tersebut. Para prajurit serta penduduk setempat segera mempersiapkan segala sesuatunya. Kaum laki-laki sibuk menyiapkan puluhan kerbau untuk disembelih. Sedangkan kaum perempuan bertugas memasak makanan.
Saat tiba waktu makan siang, kaum perempuan terlihat sibuk mengantarkan makanan untuk para pekerja yang sedang beristirahat. Wamana dan Bhima terlihat berbaur dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga pondok tetua kampung. Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di dalam pondok itu. Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan makanan untuk sang Raja. Di antara mereka, tampak seorang gadis cantik berjalan di barisan paling belakang sedang membawa dua buah kendi air minum.
Ketika gadis itu melewati tangga pondok itu, Wamana tersentak kaget. Sejenak ia terdiam sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Indra penciumannya merasakan bau amis persis yang pernah dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati beberapa anak tangga untuk menyusul gadis itu.
Saat tiba di dalam pondok, Wamana langsung melompat dan merangkul si gadis yang baru saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh wanita itu pun terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana.
“Huh, kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala gadis itu.
Setelah itu, Wamana segera menendang kendi air yang dibawa gadis tadi hingga terpental dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap Wamana, termasuk Bhima.
“Hai, Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu? Hentikan leluconmu itu!” seru Bhima.
Dengan nafas tersengau-sengau, Wamana menjelaskan bahwa kendi itu berisi air minum yang telah dicampur racun. Ia juga mengatakan bahwa gadis itu berbau amis.
“Masih ingatkah kalian keterangan para tawanan tadi? Bukankah ciri-ciri pemimpin bajak laut berbau amis dan dapat berubah wujud?” kata Wamana.
Mendengar penjelasan tersebut, sang Raja langsung memerintahkan panglimanya untuk meringkus gadis jelmaan pemimpin bajak laut itu. Ketika hendak diringkus, tiba-tiba gadis itu berubah wujud menjadi pria bertubuh besar. Ia murka dan meronta-ronta sehingga Wamana yang berada di atas punggungnya pun terpental ke belakang.
Secepat kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak laut itu lalu mengangkatnya ke atas hingga matanya melotot dan wajahnya memerah. Cekikan Bhima amat kuat membuat tubuh pemimpin perampok itu menjadi lemas. Bhima pun segera melepaskan cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh dengan lunglai ke lantai.
“Prajurit, cepat ringkus dia!” seru Bhima.
Setelah itu, sang Raja memerintahkan para prajuritnya agar pemimpin gerombolan itu dihukum mati lalu dibuang ke laut. Dengan tewasnya pemimpin gerombolan itu, maka sempurnalah penumpasan gerombolan bajak laut oleh pasukan kerajaan. Untuk mengabadikan peristiwa ini, pasukan kerajaan bersama penduduk Lebak membangun prasasti di tepi Sungai Cidangiang. Prasasti itu ditulis langsung oleh Raja Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta. Bunyi prasasti itu antara lain seperti berikut:
“Vikrantayam vanipateh, Prabbhuh satyaparakramah, Narendraddhvajabutena crimatah, Purnnavarmmanah”
Artinya:
(Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman.
Hingga saat ini, prasasti tersebut masih dapat kita temukan di tepi Sungai Cidangiang, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Oleh masyarakat setempat, prasasti tersebut dinamakan Prasasti Munjul.
* * *
Demikian cerita Legenda Prasasti Munjul dari Banten. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang suka berbuat jahat seperti para gerombolan bajak laut tersebut akan menerima ganjarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar