Hama adalah hewan pengganggu yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman sehingga merugikan para petani. Dari manakah asal mula hama tersebut? Menurut keyakinan masyarakat Bali, hama berasal dari bangkai binatang. Dahulu, air laut di sekitar Bali dicemari oleh banyak sekali bangkai binatang seperti babi, sapi, kambing, dan kerbau. Bangkai binatang itulah kemudian menjelma menjadi hama yang sangat ganas dan merusak tanaman para petani di daerah tersebut. Bagaimana bangkai binatang tersebut dapat menjelma menjadi hama? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Hama berikut ini.
Alkisah, di Pulau Jawa tersebutlah seorang raja bernama Batara Siwa yang beristana di Gunung Mahameru. Batara Siwa mempunyai tiga orang putra yang semuanya tinggal di Bali, Indonesia. Putra tertua beristana di Gunung Agung dengan gelar Batara Gunung Agung. Ia memiliki kegemaran beternak hewan seperti kerbau, sapi, babi, kambing, dan ayam. Sementara itu, putra kedua beristana di Andakasa dengan gelar Batara Andakasa. Ia adalah penguasa laut di sekitar Pulau Bali dan gemar memelihara berbagai jenis ikan di laut. Adapun putra ketiga beristana di Batur dengan bergelar Batara Batur. Putra bungsu Batara Siwa ini gemar menanam beraneka ragam tumbuhan pangan.
Ketiga putra Batara Siwa tersebut senantiasa hidup rukun dan rakyat mereka pun hidup makmur. Ternak peliharaan Batara Gunung Agung berkembang dengan cepat dan gemuk-gemuk. Demikian pula segala jenis ikan peliharaan Batara Andakasa. Tanaman peliharaan Batara Batur juga senantiasa tumbuh dengan subur. Dalam mengembangkan kegemaran ketiga putra Batara Siawa tersebut, mereka dibantu oleh rakyatnya masing-masing.
Suatu ketika, kerukunan antara ketiga orang bersaudara tersebut berubah menjadi permusuhan. Hal ini bermula dari pengrusakan yang dilakukan oleh binatang ternak Batara Gunung Agung terhadap tanaman Batara Batur. Rakyat Batur sudah berusaha menghalau kawanan binatang tersebut, namun mereka gagal karena jumlahnya terlalu banyak. Akhirnya, mereka segera mengadukan peristiwa itu kepada Batara Batur.
Mendengar laporan tersebut, putra bungsu Batara Siwa itu menjadi murka. Ia bergegas menuju ke tempat kejadian dengan membawa senjata. Begitu melihat banyak sekali binatang yang sedang merusak tanamannya, tanpa berpikir panjang lagi, ia langsung menyabetkan senjatanya ke binatang-binatang tersebut. Tak ayal, satu per satu binatang tersebut jatuh bergelimpangan di antara tanaman. Sebagian binatang yang selamat berlarian menuju ke Gunung Agung.
Sementara itu, Batara Gunung Agung menjadi terkejut saat melihat binatang peliharaannya kembali ke kandang lebih cepat dari biasanya. Yang membuatnya lebih terkejut lagi karena binatang peliharaannya tinggal sedikit. Ia pun segera memerintahkan pengawalnya untuk menyelidiki hal itu.
“Pengawal! Cepat kamu selidiki penyebab dari kejadian ini!” seru Batara Gunung Agung.
“Baik, Paduka! Perintah Paduka segera hamba laksanakan,” jawab sang pengawal seraya mohon diri.
Sesampai di Batur, sang pengawal melihat Batara Batur bersama rakyatnya sedang sibuk membersihkan bangkai-bangkai binatang yang bergelimpangan di sekitar lahan pertanian. Setelah mengetahui penyebab binatang ternak tuannya berkurang, sang pengawal segera kembali ke Gunung Agung.
“Ampun, Paduka! Rupanya, binatang ternak Paduka berkurang karena dibunuh oleh Batara Batur,” lapor pengawal itu.
“Apa katamu?” kata Batara Gunung Agung dengan terkejut, “Wah, hal ini sangat sulit untuk dipercaya.”
Penguasa Gunung Agung itu tidak pernah menyangka kalau Batara Batur tega melakukan hal itu. Ia pun bergegas menemui adiknya di Batur.
“Wahai, Adikku! Mengapa engkau membunuh binatang-binatang ternakku?” tanya Batara Gunung Agung.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dinda mengira binatang-binatang itu bukan milik Kanda. Lagi pula, mereka merusak tanaman Dinda,” jawab Batara Batur.
“Kalau bercocok tanam, seharusnya engkau pagari tanamanmu agar tidak dirusak binatang,” ujar Batara Gunung Agung dengan perasaan kesal.
“Maaf, Kanda. Kanda jangan hanya menyalahkan Dinda. Binatang ternak Kanda juga perlu dipagari agar tidak berkeliaran di mana-mana dan tidak merusak tanaman orang lain,” kata Batara Batur membela diri.
Batara Gunung Agung hanya terdiam. Dalam hatinya berkata bahwa apa yang dikatakan oleh adiknya itu cukup masuk akal. Namun karena terlanjur kecewa, ia enggan mengakui kesalahannya. Sebelum meninggalkan Batur, ia berkata kepada adiknya.
“Semoga bangkai-bangkai itu berbau busuk dan amis.”
Begitu Batara Gunung Agung kembali ke istananya, seketika itu pula bau busuk dan amis meliputi seluruh Batur. Oleh karena tidak tahan dengan bau tersebut, Batara Batur memerintahkan seluruh rakyatnya untuk membuang semua bangkai itu ke sungai hingga hanyut ke laut. Tak ayal, para penduduk yang tinggal di sekitar laut menjadi resah karena tidak tahan mencium bau busuk dan amis tersebut. Mereka pun segera melaporkan keadaan itu kepada Batara Andakasa sebagai penguasa laut.
“Ampun, Paduka! Air laut telah dicemari oleh bangkai binatang yang jumlahnya sangat banyak,” lapor salah seorang warga.
“Benar, Paduka! Selain air laut berbau busuk dan amis, banyak pula ikan yang mati akibat bangkai-bangkai itu,” imbuh seorang warga lainnya.
Batara Andakasa sangat sedih mendengar kabar buruk itu. Setelah diselidiki, diketahuilah bahwa penyebab semua itu adalah Batara Batur. Batara Andakasa pun segera menemui adiknya di Batur.
“Wahai, Adikku! Mengapa engkau membuang bangkai-bangkai binatang itu ke laut? Bangkai binatang tersebut menyebabkan ikan-ikan peliharaanku banyak yang mati,” ungkap Batara Andakasa.
“Semestinya bangkai-bangkai itu kamu tanam di dalam tanah supaya tanah menjadi subur,” imbuhnya.
“Maafkan Dinda, Kanda! Dinda tidak tahu apa yang harus Dinda perbuat dengan bangkai binatang yang banyak itu. Dinda tidak pernah berpikir kalau bangkai itu akan membunuh ikan-ikan peliharaan Kanda,” jawab Batara Batur.
Tanpa banyak tanya lagi, Batara Andakasa segera meninggalkan adiknya. Namun sebelum pergi, ia berpesan kepada Batara Batur agar selalu waspada dan berhati-hati menjaga tanamannya.
Sesampai di laut, Batara Andakasa segera memerintahkan seluruh rakyatnya untuk mengumpulkan seluruh bangkai binatang yang sudah berulat itu. Setelah itu, ia berdoa agar tulang dari bangkai binatang tersebut berubah menjadi tikus, ulatnya menjadi ulat hama, serta bulunya menjadi sangit dan wereng. Doa Batara Andakasa pun terkabulkan, sehingga dalam sekejap semua bangkai binatang tersebut berubah menjadi hama. Ia kemudian memerintahkan seluruh hama itu untuk menyerang tanaman Batara Batur.
“Kalian semua, hancurkan seluruh tanaman adikku di Batur!” seru Batara Andakasa.
Mendengar perintah itu, hama-hama tersebut dengan cepat merusak seluruh tanaman Batara Batur. Melihat kejadian itu, Batara Batur menciptakan hujan untuk menghalau mereka. Namun, usaha itu tidak berhasil. Akhirnya, ia melaporkan masalah itu kepada ayahandanya, Batara Siwa, di Gunung Mahameru.
Mendengar laporan dari putra bungsunya, Batara Siwa bergegas menuju ke Bali. Sesampai di sana, ia kemudian mengumpulkan ketiga putranya untuk dinasenati.
“Wahai, putra-putraku! Rukunlah kalian dalam bersaudara!” ujar Batara Siwa, “Putraku Batara Gunung Agung buatkanlah kandang untuk binatang ternakmu. Demikian juga putraku Batara Batur janganlah lupa memagari tanamanmu. Untuk putraku Batara Andakasa tidak usah khawatir. Mulai saat ini, ikan-ikan peliharaanmu sudah senang makan bangkai jika ada yang hanyut ke laut sehingga mereka menjadi gemuk.”
Sebelum kembali ke istananya di Gunung Mahameru, Batara Siwa juga berpesan kepada Batara Batur bahwa setiap ada hama merusak tanamannya agar segera meminta maaf kepada Batara Andakasa atau ke laut. Di samping itu, Batara Batur juga diharapkan agar setiap tahun memohon maaf ke sana dengan melakukan upacara yang disebut Nangluk Merana, yaitu upacara mengusir atau membasmi hama.
Sejak itulah, setiap tahun para petani di Bali melakukan upacara Nangluk Merana agar Batara Andakasa bermurah hati memberikan keselamatan kepada mereka dan kesuburan bagi tanaman mereka. Upacara tersebut pada umumnya dilaksanakan di pura-pura yang berstatus sebagai pura subak, yang terletak di tepi pantai.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Hama dari daerah Karangasem, Bali. Dari cerita di atas dapat diketahui bahwa hama berasal dari bangkai binatang yang telah diubah oleh Batara Andakasa melalui doa. Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah tidak adanya rasa saling menghormati dan menghargai antarsesama saudara seperti yang terjadi pada ketiga putra Batara Siwa. Hal ini terlihat pada perilaku Batara Batur yang secara membabi buta menghabisi seluruh ternak kakaknya Batara Gunung Agung. Demikian pula Batara Gunung yang secara semena-mena membiarkan binatang ternaknya berkeliaran tanpa penjagaan sehingga merusak tanaman adiknya Batara Batur. Tidak adanya sifat saling menghormati dan menghargai tersebut menyebabkan terjadinya permusuhan di antara mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar