Abo Mamongkuroit adalah seorang lelaki miskin yang tinggal bersama istrinya di sebuah hutan di daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Pada suatu hari, istrinya diculik oleh sesosok raksasa pemakan manusia. Berhasilkah Abo Mamongkuroit menyelamatkan istrinya? Ikuti kisahnya dalam cerita Abo Mamongkuroit berikut ini.
Alkisah, di sebuah hutan di daerah Sulawesi Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang miskin. Sang Suami bernama Abo Mamongkuroit, sedangkan istrinya bernama Putri Monondeaga. Walaupun hidup miskin, sepasang suami-istri itu senantiasa hidup saling menyayangi. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama dan saling membantu. Setiap hari mereka mencari kayu bakar untuk dijual ke pasar yang terletak tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Mereka juga memelihara beberapa ekor ayam yang akan dijual ke pasar untuk menambah penghasilan. Rupanya, hidup serba kekurangan membuat Abo Mamongkuroit berniat untuk pergi merantau.
Pada suatu hari, Abo Mamongkuroit menyampaikan niatnya tersebut kepada istrinya.
“Istriku! Setiap hari kita bekerja seperti ini, tapi hasil yang kita peroleh terkadang tidak cukup untuk makan sehari-hari. Kalau Adik tidak keberatan, bolehkah Abang pergi merantau untuk memperbaiki nasib kita?” pinta Abo Mamongkuroit kepada Istrinya.
Mendengar permintaan suaminya, Putri Monondeaga terdiam. Dalam hatinya, ia merasa keberatan. Jika suaminya pergi merantau, maka ia akan tinggal sendirian di tengah hutan.
“Bagaimana dengan aku, Bang?” tanya Putri Mondeaga dengan wajah sedih.
“Adik di sini saja. Kalau Adik ikut serta, siapa yang akan merawat ayam peliharaan kita,” jawab Abo.
Setelah mempertimbangkan perkataan suaminya, Putri Mondeaga pun mengurungkan niatnya untuk ikut serta.
“Baiklah kalau begitu, Bang! Abang boleh pergi merantau asalkan tidak terlalu lama,” kata Putri Mondeaga merelakan suaminya pergi merantau, walaupun dengan berat hati.
“Iya, Istriku. Abang akan segera pulang,” janji Abo kepada istrinya.
Pada malam harinya, Putri Mondeaga segera menyiapkan bekal berupa ketupat, telur rebus, dan beberapa helai pakaian untuk suaminya. Saat matahari mulai terbit di ufuk timur, Abo Mamongkuroit pun bersiap untuk berangkat merantau. Walaupun dengan berat hati, ia terpaksa harus meninggalkan istrinya seorang diri di tengah hutan. Perpisahan itu sangatlah berat bagi pasangan suami-istri itu. Sebab, sejak menjadi pasangan suami-istri, barulah kali ini mereka akan berpisah. Rasa haru pun menyelimuti hati keduanya. Tak terasa, Putri Mondeaga meneteskan air mata. Demikian pula Abo Mamongkuroit, air matanya keluar dari kelopak matanya karena tidak tahan menahan rasa haru melihat istrinya menangis.
“Sudahlah, Istriku! Abang berangkat dulu. Jaga diri Adik baik-baik! Abang berjanji tidak akan lama di perantauan,” Abo Mamongkuroit berpamitan sambil mencium kening istrinya.
“Iya, Bang! Hati-hati di jalan!” ucap Putri Mondeaga melepas kepergian suaminya sambil melambaikan tangan.
Setelah suaminya hilang dari pandangannya, barulah Putri Mondeaga masuk ke dalam gubuknya. Sejak itu, ia pun hidup sendirian di tengah hutan. Hatinya terasa sangat sepi. Jika biasanya ia pergi mencari kayu bersama suaminya, kini ia harus berangkat sendirian. Demikian pula jika memberi makan ayam peliharaannya, ia harus melakukannya seorang diri, tanpa ditemani lagi oleh suaminya.
Keesokan harinya, ketika sedang memberi makan ayam peliharaannya, tiba-tiba Putri Mondeaga dikejutkan oleh suara menggelegar yang menegurnya.
“Hai, Putri Deaga! Sedang apa kamu sendirian di situ?” tanya suara itu.
Ketika menoleh ke arah sumber suara itu, Putri Deaga melihat sosok raksasa pemakan manusia berdiri tegak tidak jauh dari tempatnya duduk. Raksasa yang bernama Tulap itu tinggal di sekitar hutan. Sudah banyak penduduk yang melintas di hutan itu telah ditangkapnya untuk dijadikan santapan. Kini, giliran Putri Deaga yang akan dijadikan santapannya.
“Ampun, Tuan Raksasa! Jangan makan aku!” pinta Putri Deaga dengan perasaan takut.
“Jangan takut, Deaga! Aku tidak akan memakanmu, asalkan kamu mau ikut bersamaku,” kata si Tulap.
Putri Deaga pun tahu bahwa jika ia ikut bersamanya, suatu saat raksasa itu pasti akan memakannya. Maka, ia pun berusaha menenangkan hatinya dari rasa takut dan segera mencari cara untuk menghidar dari niat jahat raksasa itu.
“Baiklah, Tulap! Aku bersedia ikut bersamamu, tapi jangan hari ini. Aku ingin mencuci rambut dulu, karena sudah sebulan lebih aku tidak mencucinya. Sebaiknya besok saja kamu ke sini menjemputku,” kata Putri Deaga.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, si Tulap memenuhi permintaan Putri Deaga. Kemudian ia langsung pergi dengan penuh harapan bahwa esok hari dia pasti akan mendapatkan Deaga. Sementara itu, Putri Deaga semalaman tidak bisa tidur. Ia bingung memikirkan alasan apa yang akan disampaikannya besok kepada si Tulap.
“Ya, Tuhan! Seadainya Abang Abo ada di sini, tentu hal ini tidak akan terjadi padaku,” keluh Putri Deaga dalam hati.
Keesokan harinya, ketika hari mulai petang, si Tulap datang dengan wajah berseri-seri, karena sebentar lagi akan mendapatkan makanan lezat. Sementara Putri Deaga masih kebingungan, karena belum mendapatkan alasan yang tepat agar si Tulap tidak membawanya pergi.
“Hei, Deaga! Aku datang ingin menagih janjimu yang kemarin,” kata si Tulap.
“Maaf, Tulap! Bagaimana kalau besok saja kamu menjemputku, karena aku belum mandi,” pinta Putri Deaga yang kedua kalinya.
Pada awalnya, si Tulap tidak mau lagi mendengarkan alasan dari Putri Deaga. Namun karena Putri Deaga terus membujuknya, akhirnya ia pun memenuhi permintaan Deaga. Ia pun pulang dengan tangan hampa. Demikianlah, setiap hari Putri Deaga menyampaikan alasan demi alasan kepada si Tulap untuk mengulur-ulur waktu sampai suaminya kembali dari perantauan. Namun, dari hari ke hari, suaminya tak kunjung datang dari perantauan.
Pada hari berikutnya, Putri Deaga benar-benar kehabisan akal. Ia sudah tidak menemukan lagi alasan yang akan disampaikan kepada Tulap. Ketika hari menjelang petang, si Tulap datang hendak menjemputnya.
“Ya, Tuhan! Tamatlah riwayatku. Aku akan mati ditelan si Tulap,” ucap Putri Deaga dalam hati dengan gusar.
“Hei, Deaga! Apalagi alasanmu? Ayo ikut aku!” ajak si Tulap dengan suara menggelegar.
“Tunggu sebentar, Tulap! Aku mau menyisir dulu rambutku,” bujuk Putri Deaga.
Ketika Putri Deaga sedang menyisir rambutnya, tiba-tiba si Tulap langsung membopongnya. Rupanya, si Tulap sudah tidak sabar lagi ingin membawanya pergi.
“Tolong...! Tolong...! Lepaskan aku!” teriak Putri Deaga sambil meronta-ronta.
Berkali-kali Putri Deaga mencoba hendak melepaskan diri, namun apa daya ia tidak sanggup melawan kekuatan si Tulap. Sesampai di rumahnya, si Tulap langsung memasukkan Putri Deaga ke dalam kandang besi yang berada di kolong rumahnya. Di dalam kandang itu terdapat beberapa orang warga lainnya yang siap untuk dijadikan santapan si Tulap bersama istrinya. Setiap hari, mereka menyantap satu orang warga.
Selama dalam kurungan, Putri Deaga selalu tampak murung memikirkan nasibnya. Ia juga memikirkan suaminya kelak setelah pulang dari perantauan pasti akan mencarinya. Ia senantiasa berdoa agar suaminya dapat menemukannya sebelum tiba gilirannya dimakan si Tulap.
Satu minggu kemudian, Abo Mamongkuroit kembali dari perantauan. Ia membawa oleh-oleh dan uang untuk istri tercintanya. Setibanya di depan gubuk, ia segera memanggil-manggil istrinya.
“Istriku! Abang pulang... !” teriak Abo.
Berkali-kali Abo memanggil istrinya, namun tidak mendapatkan jawaban. Dengan perasaan cemas, ia segera masuk ke dalam gubuknya. Betapa sedih hatinya ketika ia mengetahui gubuknya kosong. Ia pun segera mencari istrinya di sekitar gubuk.
“Istriku! Kamu di mana..!?” teriak Abo memanggil istrinya.
Oleh karena tidak mendapat jawaban dari istrinya, muncullah bermacam-macam dugaan dalam pikirannya.
“Jangan-jangan istriku dimakan binatang buas, atau hanyut terbawa arus sungai,” pikirnya dalam hati.
Abo Mamongkuroit pun segera berlari menuju ke arah sungai. Sesampainya di tepi sungai, ia tidak menemukan sedikitpun tanda-tanda bahwa istrinya hanyut terbawa arus sungai. Akhirnya, dengan niat dan tekad yang kuat, ia memutuskan untuk mencari istrinya sampai dapat.
Keesokan harinya, setelah menyiapkan bekal seperlunya, berangkatlah Abo Mamongkuroit mencari istrinya. Sudah sehari semalam ia berjalan menyusuri hutan belantara tanpa mengenal lelah. Setiap orang yang ditemukannya, ia menanyakan keberadaan istrinya dan tak seorang pun yang mengetahuinya. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus mencari istrinya.
Pada hari kedua, Abo Mamongkuroit melanjutkan pencariannya. Ia kembali menyusuri hutan belantara itu. Ketika akan menyeberangi sebuah sungai, ia melihat sebuah rumah besar yang berdiri tegak di tepi sungai. Dengan pelan-pelan, ia melangkah mendekati rumah itu. saat berada di halaman rumah itu, tiba-tiba ia dihadang oleh sesosok raksasa yang bertubuh kekar. Dia adalah si Tulap pemilik rumah itu.
“Hei, siapa kamu? Berani-beraninya kamu datang kemari!” tanya si Tulap.
“Aku Abo Mamongkuroit. Aku kemari sedang mencari istriku, Putri Monondeaga,” jawab Abo Mamongkuroit.
Mendengar jawaban itu, tentu si Tulap tidak mau begitu saja menyerahkan Putri Monondeaga kepada Abo.
“Hei, Abo Mamongkuroit! Kamu boleh membawa pulang istrimu, asalkan kamu mampu melawanku adu betis,” tantang si Tulap.
“Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku terima tantanganmu,” jawab Abo Mamongkuroit.
“Ha... ha... ha... ! Rupanya kamu punya keberanian juga melawanku. Memangnya kamu sanggup melawanku?” tanya si Tulap dengan nada sombong.
“Coba saja kalau berani!” tantang Abo Mamongkuroit.
Akhirnya, pertandingan adu betis pun tidak terelakkan lagi antara si Tulap dan Abo Mamongkuroit. Pertandingan sengit itu disaksikan oleh para tawanan dan istri si Tulap. Si Tulap memulai pertarungan dengan menyerang, sedangkan Abo Mamongkuroit bertahan dengan memasang kuda-kuda. Si Tulap menyerang dengan tendangan ke arah betis Abo secara bertubi-tubi. Anehnya, bukan Abo yang terpelanting karena diserang, tapi justru si Tulap yang terpelanting jauh.
“Menyerahlah, hai Raksasa tengik! Aku lebih kuat daripada kamu. Buktinya, kamu tidak sanggup merobohkanku!” seru Abo Mamongkuroit.
Mendengar ucapan Abo itu, si Tulap naik pitam. Dengan sekuat tenaga, ia langsung melayangkan sebuah tendangan keras ke arah betis Abo. Tapi, lagi-lagi dia sendiri yang terpelanting jauh. Akhirnya, ia berpikir untuk bertahan dan Abo yang menyerang. Dia pun segera memasang kuda-kuda dengan sekuat-kuatnya, sementara Abo bersiap-siap untuk menyerang. Ketika si Tulap telah siap, Abo Mamongkuroit segera melayangkan sebuah tendangan keras ke arah betis si Tulap. Apa yang terjadi? Si Tulap terpelanting jauh ke atas pohon dan jatuh terhempas di tanah. Seketika itu pula, si Tulap mati. Istri Tulap yang menyaksikan kejadian itu segera mengambil sebuah pisau yang sangat tajam, lalu mengibas-ngibaskannya ke arah Abo Mamongkuroit. Rupanya istri Tulap tidak menyadari bahwa Abo Mamongkuroit memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia pun mendapat pukulan keras dari Abo Mamongkuroit, sehingga terlempar jauh dan tergeletak di tanah tak berdaya. Maka matilah kedua raksasa itu.
Setelah itu, Abo Mamongkuroit segera membebaskan istrinya dan beberapa warga lainnya yang dikurung di bawah kolong rumah si Tulap, dan menyuruh mereka kembali ke kampung masing-masing untuk menjalankan kehidupan seperti biasanya. Abo Mamongkuroit pun segera mendekati istrinya dan mengajaknya pulang. Sejak peristiwa itu, mereka pun hidup bahagia, karena tidak ada lagi yang berani mengganggu. Demikian pula para warga di sekitar hutan itu, mereka dapat keluar masuk hutan dengan perasaan aman dan tenteram.
* * *
Demikian cerita Abo Mamongkuroit dari daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Cerita di atas tergolong dongeng, karena cerita ini tidak pernah terjadi. Cerita di atas mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keburukan sifat sombong dan angkuh. Sifat ini tercermin pada keangkuhan si Tulap yang menganggap enteng Abo Mamangkuroit, karena merasa tubuhnya lebih besar dan berotot dari pada tubuh Mamongkuroit. Namun, tanpa disadarinya ternyata Abo Mamangkuroit memiliki kesaktian yang tinggi. Akibatnya, dia pun mati terkapar tak berdaya melawan Mamongkuroit. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda orang yang celaka,
sifatnya sombong bercampur pongah,
kalau hidup besar kepala,
lambat laun ditimpa bala
Tidak ada komentar:
Posting Komentar