Sigarlaki dan Limbat adalah dua orang pemburu binatang yang tinggal di daerah Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Sigarlaki adalah seorang majikan sedangkan Limbat adalah pelayannya. Suatu hari, Sigarlaki menuduh pelayannya itu mencuri sisa daging binatang buruannya yang disimpan di dalam lemari. Karena si pelayan menolak tuduhan itu, maka Sigarlaki ingin menguji kejujuran pelayannya itu. Ujian apakah yang akan diterima oleh Limbat? Berhasilkah Limbat melalui ujian tersebut? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Sigarlaki dan Limbat berikut ini.
Pada zaman dahulu, daerah Tondano, yang kini termasuk ke dalam wilayah Sulawesi Utara, merupakan sebuah daerah yang subur. Hutan lebat terhampar begitu luas. Di antara hamparan hutan tersebut terdapat sungai-sungai dan rawa-rawa yang airnya sangat jernih. Berbagai jenis burung dan binatang liar pun hidup bebas di tengah-tengah hutan tersebut. Mulai dari binatang yang hidup di air seperti ikan, udang, dan kepiting hingga binatang yang hidup di darat seperti ular, babi hutan, rusa, dan sebagainya.
Di pinggir sebuah kolam di dalam hutan itu, hiduplah seorang pemuda perkasa yang bernama Sigarlaki. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai pemburu binatang. Ia sangat mahir menombak. Hampir tidak ada sasaran yang luput dari tombakannya.
Sigarlaki tinggal bersama dengan pelayannya yang bernama Limbat. Limbat adalah seorang pelayan yang jujur dan setia. Apapun pekerjaan yang diperintahkan oleh majikannya, ia senantiasa melaksanakannya dengan baik. Ke mana pun majikannya pergi, ia selalu turut serta menemani.
Suatu hari, Sigarlaki dan Limbat berburu agak jauh ke tengah hutan. Sudah setengah hari mereka berburu, namun tak seekor binatang buruan pun yang mereka dapatkan. Hari itu, hutan tampak sepi. Karena mulai kesal dan hari pun menjelang siang, akhirnya Sigarlaki mengajak Limbat untuk beristirahat sejenak di bawah sebuah pohon rindang.
“Limbat! Kita beristirahat dulu. Perburuan kita lanjutkan setelah istirahat nanti!” ujar Sigarlaki.
“Baik, Tuan!” jawab Limbat seraya mengeluarkan bekal yang dibawanya dari rumah.
Sambil menikmati santapan, Sigarlaki memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tombaknya selalu siap di dekatnya untuk digunakan jika tiba-tiba ada binatang buruan yang melintas di depannya. Namun, tak seekor binatang pun yang melintas hingga mereka selesai bersantap. Hati Sigarlaki pun semakin tidak tenang. Ia semakin penasaran dan tidak sabar lagi ingin menombak binatang buruan. Setelah merasa cukup istirahat, ia segera mengajak Limbat untuk kembali melanjutkan perburuan.
Kemudian mereka berjalan menyusuri hutan dan semak-belukar hingga jauh ke dalam. Sigarlaki berkali-kali mengeluh karena belum berhasil mendapatkan seekor pun binatang buruan. Limbat dengan sabar mendengar keluhan majikannya walaupun ia sering terkena imbas kemarahan sang majikan.
Setelah senja turun, Sigarlaki dan Limbat kembali ke rumah tanpa membawa hasil. Setibanya di rumah, Sigarlaki memerintahkan Limbat agar segera memasak sisa daging babi hutan yang ada di lemari.
“Limbat, cepat masak daging yang ada di lemari itu! Aku sudah lapar sekali!” seru Sigarlaki.
“Baik, Tuan!” jawab Limbat.
Sigarlaki berbaring di balai-balai bambu depan rumahnya sambil menunggu Limbat selesai memasak. Hari itu benar-benar hari yang sangat mengesalkan bagi Sigarlaki. Sementara itu, Limbat yang akan mengerjakan perintah tuannya tersentak kaget karena daging persediaannya di lemari hilang. Dengan hati cemas, ia pun segera melaporkan hal itu kepada majikannya.
“Maaf, Tuan! Daging persediaan kita tidak ada di lemari,” lapor Limbat dengan perasaan gugup.
Mendengar laporan itu, kekesalan Sigarlaki pun semakin menjadi-jadi.
“Hai, Limbat! Pasti kamu yang telah mencuri daging itu!” tuduh Sigarlaki.
“Ampun, Tuan! Demi Tuhan, bukan saya yang mengambil daging itu,” jawab Limbat menolak tuduhan itu.
“Hai, Pelayan bodoh! Kamu tidak usah menyangkal!” bentak Sigarlaki.
“Benar, Tuan! Bukan saya yang mengambilnya,” jawab Limbat.
“Coba buktikan kalau memang kamu benar, hai Pelayan!” seru Sigarlaki.
“Bagaimana caranya saya membuktikannya, Tuan?” tanya Limbat bingung.
Sigarlaki mencelupkan tombaknya ke dalam kolam di dekat rumahnya. Lalu ia menyuruh Limbat menyelam ke dalam kolam itu. Sebelum tombaknya tenggelam ke dalam air, Sigarlaki berpesan kepada Limbat.
“Hai, Limbat! Jika kamu lebih dulu keluar dari kolam daripada tombak itu, berarti kamulah yang mencuri daging itu. Tapi, jika tombak ini yang lebih dulu keluar, berarti kamu tidak bersalah,” ujar Sigarlaki.
Limbat merasa syarat yang diberikan majikannya itu sangat tidak masuk akal. Tombak yang matanya terbuat dari besi itu tidak akan mungkin terapung, apalagi jika tombak tersebut tertancap di dasar kolam itu. Karena merasa tidak mencuri, Limbat pun menuruti permintaan majikannya dengan hati yang sabar.
Begitu Sigarlaki menenggelamkan tomboknya ke dasar kolam, Limbat pun segera menyelam. Namun, baru saja Sigarlaki menenggelamkan tombaknya, tiba-tiba seekor babi hutan muncul dari balik semak-semak hendak minum di tepi kolam. Tanpa berpikir panjang, ia segera mengangkat kembali tongkatnya lalu melemparkannya ke arah babi hutan itu. Namun, sayang, tombakannya kali ini luput sehingga babi hutan itu melarikan diri masuk ke dalam semak-semak.
Sementara itu, Limbat yang baru saja muncul ke permukaan air kolam sangat senang karena merasa telah berhasil membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Namun, Sigarlaki yang terlanjur kecewa meminta agar pembuktian itu diulangi lagi.
“Hai, Limbat! Pembuktian ini saya anggap batal. Aku mengangkat tombak ini dari kolam itu karena aku melihat seekor babi hutan di tepi kolam itu. Untuk itu, pembuktian ini harus kita ulangi,” jelas Sigarlaki.
Limbat pun tak berdaya untuk menolak permintaan majikannya itu. Akhirnya, dengan penuh keyakinan, Limbat menuruti permintaan itu untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar tidak bersalah. Baru saja Sigarlaki menancapkan tombaknya ke dalam kolam, tiba-tiba seekor kepiting besar keluar dari kolam itu lalu menggigit kaki Sigarlaki. Sigarlaki pun menjerit kesakitan dan tanpa sengaja ia mengangkat kembali tongkatnya.
Sementara itu, Limbat yang baru saja muncul ke permukaan air kolam melihat kaki tuannya digigit kepiting segera naik ke darat untuk menolongnya. Setelah melepas gigitan kepiting itu, ia mengobati luka di kaki tuannya dengan dedaunan. Dengan demikian, Limbat berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah. Sigarlaki pun segera meminta maaf kepada Limbat untuk mengakui kesalahannya.
“Maafkan saya Limbat, karena telah menuduhmu mencuri daging itu!” ucap Sigarlaki.
“Iya, Tuan! Kita lupakan saja semua kejadian tadi. Yang penting Tuan telah selamat dari gigitan kepiting itu,” kata Limbat sambil tersenyum.
Sungguh mulia hati Limbat. Meskipun telah dizalimi, ia tidak segan-segan untuk menolong tuannya. Sejak saat itu, Sigarlaki tidak pernah lagi menzalimi Limbat. Bahkan, ia telah menganggap Limbat sebagai saudara sendiri, bukan sebagai pelayan lagi.
* * *
Demikian cerita Sigarlaki dan Limbat dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Cerita di atas termasuk dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah keutamaan sifat sabar, penurut, tidak pendendam, suka menolong, dan akibat buruk dari sifat suka menuduh sembarangan orang lain. Sifat sabar, penurut, tidak pendendam, dan suka menolong terlihat pada sikap dan perilaku Limbat. Ia selalu menuruti segala perintah dan sabar menghadapi sikap buruk majikannya. Meskipun telah dizalimi oleh Sigarlaki, ia tidak pernah merasa dendam dan bahkan tidak segan-segan menolong tuannya itu. Sementara itu, Sigarlaki mendapat hukuman berupa gigitan kepiting karena telah menuduh si Limbat secara sembarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar