Condet, sebuah daerah yang terletak di Kramat Jati, Jakarta Timur, ternyata menyimpan legenda. Dahulu, Condet adalah milik rakyat. Namun, sejak penjajah masuk ke wilayah Betawi, daerah Condet dan sekitarnya dikuasai oleh seorang tentara Belanda yang bernama Jan Ament. Ia adalah seorang yang suka bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itu, masyarakat Condet pun melakukan perlawanan terhadap Jan Ament. Berhasilkah warga Condet merebut kembali hak-hak mereka? Ikuti kisahnya dalam cerita Legenda Codet berikut ini.
Pada pertengahan abad ke-18 M., di tanah Betawi ada seorang pangeran yang kaya-raya bernama Pangeran Geger. Masyarakat sekitar lebih akrab memanggilnya dengan nama Pangeran Codet karena terdapat bekas luka di dahinya. Wilayah kekuasaan sang pangeran meliputi daerah yang kini dikenal sebagai wilayah Codet di Jakarta Timur. Pangeran Codet memiliki istri bernama Polong dan lima orang anak. Salah satunya adalah Maemunah yang memiliki paras yang cantik nan rupawan. Tidak mengherankan jika banyak bangsawan yang datang melamarnya.
Suatu hari, datanglah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Astawana hendak melamar Maemunah. Astawana berasal dari Makassar (Sulawesi Selatan), tapi ia sudah cukup lama tinggal di Betawi, tepatnya di sebelah timur Condet. Astawana terkenal memiliki kesaktian yang tinggi dan baik hati. Saat sampai di depan rumah Pangeran Codet, Astawana memberi salam.
“Assalamu’alaikum!” ucap pemuda itu dengan suara pelan.
Belum ada jawaban dari pemilik rumah. Salamnya baru mendapat jawaban setelah ia mengucapkan salam yang ketiga kalinya dengan suara agak keras.
“Waalaikum salam...!” terdengar suara wanita dari dalam rumah menjawab salamnya.
Beberapa saat kemudian, tampaklah seorang gadis cantik berjalan dari dalam rumah. Gadis yang tidak lain adalah Maemunah itu segera mempersilakan Astawana duduk di kursi yang ada di teras rumah. Teras rumah merupakan ruang tamu bagi rumah masyarakat Betawi.
“Silakan duduk, Bang!” ujar Maemunah.
Setelah itu, Maemunah segera masuk ke dalam untuk memanggil kedua orangtuanya. Tak berapa lama kemudian, Pangeran Codet bersama istrinya pun datang menemui Astawana.
“Maaf, Anak Muda. Anda siapa dan apa maksud kedatangan Anda ke mari?” tanya Pangeran Codet.
“Nama saya Astawana. Kedatangan saya kemari untuk melamar putri Tuan yang bernama Maemunah,” ungkap Astawana.
Mendengar nama pemuda itu, Pangeran Codet dan istrinya tersentak kaget. Nama itu tidak asing lagi bagi mereka.
“Pangeran Astawana yang terkenal sakti itu bukan?” tanya istri Pangeran Codet.
“I... Iya, Tuan!” jawab Astawana sedikit gugup, “Kebetulan saja orang-orang di daerah ini banyak yang mengenal saya.”
Begitulah sifat Astawana. Meskipun memiliki kesaktian yang tinggi, ia selalu merendahkan. Hal itulah yang membuat Pangeran Codet dan istrinya terpikat untuk menjadikannya menantu. Tapi, semua itu tergantung pada Maemunah. Mereka tidak bisa memutuskan atas kemauan mereka sendiri tanpa persetujuan dari putri mereka. Ketika Maemunah datang membawa minuman, sang Ayah pun menyampaikan maksud kedatangan Astawana.
“Putriku, duduklah sebentar,” kata Pangeran Codet, “Ayah ingin memperkenalkamu dengan pangeran muda ini. Apakah kamu pernah mengenalnya?”
Maemunah tersenyum sambil tertunduk malu dan kemudian menjawab bahwa ia hanya sering mendengar nama itu, tapi belum pernah bertemu secara langsung.
“Aye hanya mengenal namanya, Be,” jawab Maemunah singkat.
“Ketahuilah, kedatangan Astawan kemari ingin melamarmu. Bagaimana pendapatmu, Putriku?”
Maemunah tidak langsung menjawab dan termenung sejenak. Setelah berpikir bahwa Astawana adalah seorang yang sakti mandraguna, maka ia pun menjawab dengan mengajukan sebuah persyaratan kepada pemuda sakti itu.
“Iya, lamaran aye terima jika Abang mampu membuatkan dua rumah di dua tempat yang berbeda dalam waktu semalam,” pinta Maemunah, ”Dua rumah itulah sebagai mas kawinnya.”
Mendengar permintaan itu, Astawana tidak perlu berpikir panjang. Ia yakin mampu memenuhi syarat itu dengan kesaktian yang dimilikinya.
“Baiklah, saya menyanggupi persyaratan itu,” jawab Astawana dengan penuh keyakinan.
Ketika hari mulai gelap, pemuda asal Makassar itu segera berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat doa dan dan kesaktiannya, ia pun berhasil mewujudkan pemintaan Maemunah. Dua rumah tersebut kemudian disebut sebagai Batuampar dan Balekambang. Kini, nama kedua rumah diabadikan menjadi dua nama kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur.
Permintaan Maemunah telah dipenuhi oleh Astawana. Perkawinan mereka pun dilangsung dengan meriah. Tamu undangan dari berbagai penjuru memadati kediaman Pangeran Codet. Kemeriahan pesta itu semakin terlihat ketika gambang kromong mulai dipentaskan. Alunan musik khas Betawi itu pun terdengar merdu menghibur para tamu undangan. Kedua mempelai yang duduk bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum bahagia menikmati kemeriahan pesta. Demikian pula Pangeran Codet dan istrinya turut bersuka-cita atas pernikahan putrinya.
Selang beberapa waktu setelah pernikahan putrinya, Pangeran Codet meninggal dunia karena sakit. Seluruh harta kekayaannya, termasuk tanah dan kekuasaannya diwarisi oleh Maemunah. Sejak itulah, istri Astawana itu menjadi penguasa di wilayah itu menggantikan kedudukan ayahnya. Untuk menghormati sang Ayah, Maemunah menyebut daerah kekuasaannya sebagai wilayah Codet yang lama-kelamaan diucapkan dengan nama Condet.
Maemunah adalah sosok yang adil dan bijaksana. Atas kepemimpinannya, masyarakat di sekitarnya pun senantiasa hidup damai dan tenteram. Namun, beberapa tahun kemudian, kedamaian Condet terusik oleh kedatangan kompeni Belanda ke wilayah Betawi. Kaum penjajah itu mulai merampas tanah milik penduduk secara paksa. Jika ada penduduk yang melawan, mereka tidak segan-segan menganiaya, bahkan membunuh.
Salah seorang Belanda yang tinggal di sekitar Condet adalah Jan Ament. Ia terkenal kejam dan serakah. Meskipun telah memiliki tanah yang luas dari hasil rampasan, ia tetap tidak merasa puas. Ia ingin menjadi tuan tanah paling kaya dan menguasai wilayah Condet. Mengetahui Maemunah memiliki tanah yang luas, Jan Ament pun ingin merampasnya.
Suatu hari, Jan Ament bersama antek-anteknya mendatangi rumah Maemunah. Dengan sebilah pedang panjang terselip di pinggang, Jan Ament berseru di depan rumah Maemunah.
“Hai, perempuan pribumi, cepat keluar! Kalau tidak, aku akan masuk memaksamu ke keluar!” teriaknya sambil berkacak pinggang.
Maemunah yang mendengar teriakan itu segera keluar bersama suaminya. Dengan tenang, putri almarhum Pangeran Codet itu menyapa Jam Ament dengan ramah.
“Maaf, Tuan! Barangkali ada sesuatu yang bisa aye bantu?” tanya Maemunah.
“Aku ke sini untuk meminta seluruh tanah milikmu. Cepat serahkan semua surat-surat tanahmu kepadaku! Kalau tidak, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Pedang panjangku ini akan menebas lehermu,” ancam Jan Ament.
Astawana yang berdiri di samping istrinya angkat bicara karena tidak tahan lagi melihat sikap Jan Ament.
“Hai, Belanda pengecut! Beraninya sama perempuan saja. Lawan aku jika kamu berani!” tantang Astawana seraya melompat ke hadapan Jan Ament.
Jan Ament tersentak kaget dan mundur beberapa langkah. Ketika ia hendak mengunus pedangnya, tiba-tiba sebuah tendangan keras melayang menghantam dadanya. Tentara Belanda itu pun terpental ke belakang dan terjatuh ke tanah. Melihat tuannya tidak berdaya, antek-antek Jan Ament hendak membantu. Namun, Jan Ament mencegah dan mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu.
“Ayo kita pergi dari sini!” ujar Jan Ament sambil memegang dadanya yang terkena tendangan Astwana. Sebelum meninggalkan halaman rumah Maemunah, Jan Ament mengancam akan kembali dengan jumlah orang yang lebih banyak.
Beberapa hari kemudian, Jan Ament kembali mendatangi rumah Maemunah untuk menantang Astawana. Namun, ia tetap tidak mampu mengalahkan suami Maemunah yang sakti itu.
Menurut cerita, Jan Ament baru berhasil merebut tanah Maemunah setelah menggunakan akal licik. Ia mengirim seorang anteknya untuk mengetahui kelemahan Astawana. Alhasil, usaha tersebut berhasil sehingga suami Maemunah itu dapat dikalahkan. Sejak itulah, Jan Ament menjadi penguasa di Condet dan dilanjutkan oleh anak cucunya.
Keturunan Jan Ament yang menjadi tuan tanah tinggal di rumah besar di Kampung Gedong. Mereka membuat aturan yang memberatkan rakyat Condet dengan mewajibkan membayar sewa tanah setahun sekali. Selain itu, para petani diwajibkan melakukan kompenian, yaitu kerja bakti tanpa diberi upah untuk kepentingan tuan tanah.
Semakin hari, kesewenang-wenangan kompeni Belanda terhadap rakyat Condet semakin menjadi-jadi. Jika ada warga yang tidak mampu membayar sewa tanah, mereka tidak segan-segan merampas dan menyita barang-barang atau pun rumah warga itu. Tapi, jika mendapat rumah sitaan yang rusak, mereka langsung membakarnya.
Kesewenang-wenangan itu membuat rakyat Condet resah. Oleh karena itu, pada tahun 1916 M., rakyat Condet yang dipimpin oleh Entong Gendut bersepakat untuk melakukan perlawanan. Entong Gendut adalah seorang pendekar silat dari Batu Ampar yang juga bagian dari wilayah Condet. Ia dibantu oleh Astawana dan dua orang pendekar sakti lainnya bernama Modin dan Maliki yang keduanya juga berasal dari Batu Ampar.
Entong Gendut bersama kawan-kawannya mempersiapkan diri terlebih dahulu. Mereka melatih warga belajar ilmu silat. Setelah anggotanya mencapai ratusan orang, perkumpulan silat yang dipimpin oleh Entong Gendut itu pun mulai melakukan perlawanan. Mereka dipersenjatai dengan golok, tombak, keris, dan panah. Sementara itu, kompeni Belanda dilengkapi dengan senjata api dan senapan.
Saat pertempuran sedang berlangsung, anak buah Entong Gendut banyak yang tewas tertembus peluru. Tidak sedikit pula anggota pasukan kompeni Belanda yang tewas, terluka terkena bacok, atau tertembus anak panah. Dalam pertempuran itu, rakyat Condet akhirnya kalah setelah tentara Belanda mendapat bantuan sekompi pasukan. Entong Gendut pun tewas karena dadanya tertembus peluru. Sementara itu, para pengikutnya ditangkap dan dimasukkan ke penjara.
Tanah di wilayah Condet baru kembali menjadi milik rakyat setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, di mana hak-hak Jan Ament dan keturunannya dihapuskan.
* * *
Demikian cerita Legenda Codet dari daerah Betawi, Jakarta Timur. Pesan moral yang terkandung dalam cerita di atas adalah sifat cinta tanah air. Sifat ini terlihat pada perjuangan warga Condet merebut kembali hak-hak mereka dari para kompeni Belanda.
nuri zein binti ujun zein sangat menyukai cerita anda
BalasHapus