Ambo Upe adalah seorang penggembala kerbau yang tinggal di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia. Ambo upe adalah bahasa Bugis yang terdiri dari dua kata, yaitu ambo yang berarti bapak, dan upe berarti untung atau beruntung. Ambo upe berarti bapak yang beruntung. Pada suatu hari, Ambo Upe menggembalakan enam ekor kerbaunya di pinggir sebuah hutan lebat. Tanpa diduga, tiba-tiba muncul dua orang perampok dari dalam hutan dengan wajah seram. Kedua perampok itu kemudian menghampiri dan mengikat Ambo Upe pada sebuah pohon, lalu membawa pergi kerbau gembalaannya. Bagaimana nasib Ambo Upe selanjutnya dan keenam kerbaunya? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Ambo Upe dan Burung Beo berikut ini.
Alkisah, di sebuah kampung di daerah Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sebuah keluarga petani yang memiliki tiga pasang kerbau. Hewan ternak tersebut digembalakan oleh seorang anak dalam keluarga itu, bernama Ambo Upe. Ia anak yang rajin dan suka menolong terhadap sesama makhluk.
Pada suatu hari, Ambo Upe menggembalakan tiga pasang kerbaunya di sebuah padang ilalang yang luas dan hijau. Menjelang siang, Ambo Upe melepaskan ketiga pasang kerbaunya lalu pergi berteduh di bawah sebuah pohon asam yang rindang di tepi padang ilalang. Di bawah pohon itu, ia duduk bersandar sambil menikmati hembusan angin sepoi-sepoi. Di tengah asyik duduk memerhatikan kerbau-kerbaunya yang sedang merumput, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah benda hitam terjatuh tak jauh dari tempatnya berteduh. Oleh karena penasaran, dihampirinya benda itu. Ternyata benda itu adalah seekor anak burung yang belum bisa terbang, bulu-bulu di badannya belum tumbuh dengan sempurna.
“Wah kasihan sekali burung ini. Badannya penuh dengan luka. Sepertinya burung ini terlepas dari cengkeraman burung elang yang menyambarnya,” gumam Ambo Upe iba.
Oleh karena merasa iba kepada anak burung itu, Ambo Upe pun mengobati dan memberinya makan. Kemudian membawanya pulang ke rumah untuk dipelihara.
Beberapa minggu kemudian, burung itu menjadi besar. Bulu-bulunya tumbuh dengan sempurna. Tampaklah bahwa burung itu adalah seekor burung beo. Ambo Upe senang sekali saat mengetahui hal itu. Sejak saat itu, ke mana pun ia pergi, burung beo itu selalu menyertainya. Ketika Ambo Upe pergi menggembala, burung beo itu pun setia menemaninya.
Pada suatu siang yang sangat terik, usai melepaskan hewan gembalannya, Ambo Upe beristirahat di bawah sebuah pohon hingga tertidur. Baru saja terlelap, tiba-tiba seekor ular mendekatinya dan hendak menggigit kakinya. Untungnya si Burung Beo mengetahui hal itu. Ia pun segera menolong tuannya. Dengan paruhnya yang runcing, ia mematuk mata ular itu hingga berdarah. Ular itu pun merayap pergi karena kesakitan. Selamatlah Ambo Upe dari gigitan ular itu berkat pertolongan Burung Beo.
Burung Beo itu kemudian mendekati dan membangunkan Ambo Upe yang masih terlelap. Ia mengipas-ngipaskan sayapnya pada telinga tuannya. Saat terbangun, Ambo Upe masih sempat melihat ular yang sedang melata pergi. Ia pun menyadari bahwa si Beo baru saja menyelamatkannya dari gigitan ular itu. Dengan perasaan haru, ia membelai-belai Burung Beo itu.
“Terima kasih, Beo! Kamu telah menyelamatkanku dari gigitan ular itu,” kata Ambo Upe terharu.
Demikianlah, setiap Ambo Upe pergi menggembala, si Burung Beo selalu setia menemaninya. Suatu waktu, Ambo Upe membawa kerbaunya ke sebuah tanah lapang yang cukup jauh. Ia meninggalkan padang tempat biasanya menggembala, karena rumputnya sudah kering akibat kemarau panjang. Tempat itu sudah sangat dekat dengan hutan. Tempat itu tampak sepi, karena sangat jarang penduduk yang lalu-lalang.
Pada saat Ambo Upe asyik memerhatikan kerbaunya merumput, tiba-tiba dua orang lelaki bertubuh kekar dan berwajah seram muncul dari dalam hutan. Kedua orang itu kemudian menghampirinya. Ambo Upe menjadi ketakutan, karena ia tidak mengenal kedua orang itu.
“Sepertinya mereka bukan orang baik-baik,” kata Ambo Upe dalam hati dengan perasaan cemas.
Ternyata dugaannya benar. Kedua laki-laki itu adalah perampok.
“Hai, Anak Muda! Sedang apa kamu di sini!” bentak salah seorang dari perampok itu.
“Sss… sssa… saya sedang menggembala kerbau, Tuan!” jawab Ambo Upe dengan gugup.
“Di mana kamu melepaskan kerbau-kerbaumu?” tanya perampok yang satunya dengan nada tinggi.
Oleh karena takut dipukuli oleh kedua perampok itu, Ambo Upe pun menunjuk ke arah di mana kerbau-kerbaunya sedang merumput.
“Ayo, kawan! Kita ikat anak ingusan ini!” seru seorang perampok kepada temannya.
“Kita bawa kerbau-kerbau itu pergi,” sambungnya.
Kemudian kedua perampok itu mengikat tubuh Ambo Upe pada sebuah pohon. Setelah itu, mereka segera menggiring kerbau-kerbau Ambo Upe ke dalam hutan.
Burung Beo tidak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengawasi kejadian itu. Namun, secara diam-diam ia mengikuti langkah kerbau-kerbau tuannya yang digiring oleh kedua perampok itu masuk ke dalam hutan. Ternyata kerbau-kerbau tersebut dikandangkan ke sebuah gua di tengah hutan. Maka tahulah ia tempat persembunyian kedua perampok itu.
Dengan cepat, si Beo terbang meninggalkan gua lalu kembali ke rumah untuk melaporkan kejadian itu kepada ayah Ambo Upe. Pada awalnya, ayah Ambo Upe kesulitan memahami isyarat yang disampaikan si Beo, karena ia jarang bergaul dengannya. Namun, pada akhirnya ia pun memahami isyarat itu bahwa ada sesuatu yang terjadi pada diri Ambo Upe. Ayah Ambo Upe kemudian segera mengikuti arah terbang Burung Beo itu. Sesampainya di padang itu, terlihatlah Ambo Upe terikat tak berdaya pada sebuah pohon. Ia pun segera melepaskan tali yang melilit tubuh anaknya itu. Ambo Upe kemudian menceritakan kejadian yang menimpanya hingga keenam ekor kerbaunya hilang entah ke mana. Mereka pun pulang ke kampung untuk menyusun rencana.
Sesampainya di kampung, ayah Ambo Upe segera mengumpulkan seluruh warga. Lalu ia menceritakan tentang kejadian yang telah menimpa anaknya. Warga kampung pun memutuskan untuk mencari kerbau-kerbau yang telah dirampok dan menangkap pelakunya.
“Terima kasih, bapak-bapak. Saya siap memandu bapak-bapak ke tempat persembunyian perampok itu. Saya telah mendapat isyarat dari Burung Beo saya yang telah membuntuti perampok itu sampai ke tempat persembunyiannya di sebuah gua di dalam hutan itu,” kata Ambo Upe kepada seluruh warga dalam pertemuan itu.
Warga pun merasa gembira atas pemberitahuan Ambo Upe itu. Beberapa warga kampung segera mengikuti arah langkah Ambo Upe yang dipandu Burung Beo kesayangannya. Mereka berangkat lengkap dengan senjata. Sebagian warga menggenggam tombak. Sebagian yang lain membawa badik diselipkan di depan perutnya sambil menepuk-nepuk pangulu-nya. Senjata-senjata tersebut siap untuk digunakan pada saat diperlukan.
Setelah berjalan jauh, mereka pun memasuki kawasan hutan yang lebat itu. Nampak dahan kecil patah dan jejak kaki kerbau sebagai pertanda tempat itu sering dilewati oleh manusia dan hewan. Akhirnya, tibalah mereka di sebuah gua di tengah hutan. Warga kampung semakin tidak sabar ingin menangkap perampok tersebut. Warga yang membawa tombak sudah siap untuk melemparkan tombaknya. Demikian pula warga yang membawa badik, mereka sudah mengeluarkan badiknya dari wanoa-nya untuk menikam perampok itu.
“Tunggu sebentar! Kita tidak perlu gegabah,” ujar seorang warga.
“Benar, jangan sampai mereka mengetahui keberadaan kita,” sambung seorang warga yang lainnya.
“Kita kepung saja tempat ini,” ujar ayah Ambo Upe.
Warga pun segera mengurung tempat itu sambil bersembunyi di balik pepohonan. Kedua perampok yang berada di dalam gua itu tidak menyadari hal itu. Keduanya pun keluar dari dalam gua ingin kembali merampok binatang ternak milik warga. Namun, baru beberapa langkah keluar dari mulut gua, tiba-tiba di depan mereka berdiri dua warga kampung dengan badik terhunus.
“Berhenti!” sentak seorang warga.
“Hai, orang kampung! Apa maumu datang kemari?” tanya salah seorang perampok dengan nada menantang.
“Oh, rupanya kalian ingin mengantarkan nyawa kalian kemari,” gertak perampok lainnya dengan sombong. Ia merasa masih lebih kuat daripada kedua warga kampung itu, karena badannya lebih besar dan kekar.
Rupanya, kedua perampok tersebut tidak menyadari jika ada puluhan warga lainnya yang masih bersembunyi di balik pepohonan. Mereka mengira warga yang datang hanya dua orang.
Tanpa mereka duga, tiba-tiba di sekeliling mereka puluhan warga kampung telah mengepungnya lengkap dengan tombak dan badik di genggaman.
“Hai, perampok tengik. Menyerahlah! Kalian sudah kami kepung!” seru ayah Ambo Upe.
“Hai, orang tua bodoh! Kamu kira kami takut kepada kalian semua,” jawab seorang perampok dengan angkuhnya.
“Letakkanlah senjata kalian! Tidak mungkin kalian mampu melawan kami yang berjumlah banyak ini,” seru seorang warga.
“Cih, kalian hanya menakut-nakuti kami,” jawab kedua perampok itu serentak.
“Kami tidak ingin melukai kalian,” tambah ayah Ambo Upe.
“Eh, siapa yang menyebut kami akan terluka?”
“Kalianlah yang akan bermandikan darah. Majulah kalau berani!“ seru seorang perampok sambil memasang kuda-kuda.
“Baiklah. Kalian jangan menyesal jika badikku ini merobek tubuh kalian!” seru seorang warga dengan geram, lalu mengibaskan badiknya ke arah perampok itu.
Melihat seorang warga menyerang, warga lainnya pun ikut membantu. Silih berganti warga menyerang kedua perampok itu. Rupanya, kedua perampok itu tangguh juga. Namun, tak berapa lama, mereka terdesak dan akhirnya berhasil dilumpuhkan oleh warga kampung yang berjumlah puluhan.
Warga kemudian menggiring kedua perampok itu beserta puluhan kerbau hasil rampokan mereka ke kampung. Mereka pun menghukum kedua perampok itu dengan cara menugasi keduanya untuk menggembalakan semua binatang ternak milik warga selama sebulan. Usai menjalani hukumannya, kedua perampok tersebut menjadi jera dan tidak pernah merampok lagi. Sejak saat itu, Ambo Upe ditemani Burung Beo kesayangannya kembali menggembalakan ketiga pasang kerbaunya dengan tenang dan aman.
Ambo Upe membelai bulu Burung Beonya yang bertengger di pundaknya dengan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Beo! Kamu memang burung yang baik. Kamu beberapa kali telah menyelamatkanku dari ancaman bahaya,” kata Ambo Upe.
Demikianlah Ambo Upe dan si Burung Beo hidup saling menolong. Jika dahulu Ambo Upe menolongnya, kini si Burung Beo yang menolong Ambo Upe. Ambo Upe pun semakin sayang terhadapnya, dan senantiasa memelihara dan merawatnya dengan baik.
* * *
Demikian cerita Ambo Upe dan Burung Beo dari daerah Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat saling tolong-menolong terhadap sesama makhluk dan akibat buruk suka mengambil barang milik orang lain.
Pertama, keutamaan sifat saling tolong-menolong terhadap sesama makhluk. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Ambo Upe dan si Burung Beo. Awalnya, Ambo Upe menolong si Burung Beo dengan mengobati lukanya akibat cengkeraman kuku burung elang. Setelah itu, si Burung Beo yang menolong Ambo Upe dari gigitan ular dan sergapan perampok. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa orang yang suka berbuat baik (suka menolong) akan mendapat balasan baik pula. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat tolong-menolong dalam kebaikan sangat dianjurkan, karena dapat menimbulkan rasa hormat-menghormati, kasih-mengasihi dan sayang-menyanyangi, sehingga terbina kehidupan yang aman, damai, sejahtera dan harmonis. Dikatakan dalam untaian syair Melayu:
wahai ananda dengarlah manat,
tulus dan ikhlas jadikan azimat
berkorban menolong sesama umat
semoga hidupmu beroleh rahmat
Kedua, akibat buruk sifat suka merampas hak milik orang lain (merampok). Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku kedua perampok yang merampas ketiga pasang kerbau Ambo Upe. Akibatnya, keduanya pun dihukum oleh warga setempat. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat ini sangat dipantangkan. Menurut Tenas Effendy (2006: 242), mengambil hak milik, harta, atau pusaka orang lain secara semena-mena sangat dipantangkan, karena menyalahi syarak dan adat. Merampas atau menguasai hak milik orang secara tidak halal atau tidak sah dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan dilaknat oleh Allah SWT. Dalam ungkapan adat dikatakan:
apa tanda orang terkutuk,
mengambil milik orang ia kemaruk
apa tanda orang celaka,
mengambil hak orang semena-mena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar