Anok Lumang adalah seorang pemuda miskin yang tinggal di Tanah Sekalawi (Kabupaten Lebong sekarang), Provinsi Bengkulu, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata anok lumang berarti anak yatim piatu. Namun berkat kesabaran, kerja keras, dan ketekunannya beribadah, Anok Lumang menikah dengan seorang gadis cantik, anak seorang penguasa kota. Bagaimana lika-liku perjalanan hidup Anok Lumang, sehingga bisa menikah dengan anak seorang penguasa kota? Ikuti kisahnya dalam cerita Anok Lumang berikut ini.
Alkisah, di tanah Kenah Sekalawi (Kabupaten Lebong), Bengkulu, hiduplah seorang anak laki-laki miskin. Kedua orangtuanya meninggal dunia sejak ia masih kecil. Hidupnya sangat memprihatinkan karena kedua orangtunya tidak meninggalkan harta benda untuknya, kecuali hanya sebuah gubuk reot yang terletak di pinggir kampung. Di gubuk itulah ia tinggal sendirian, tanpa saudara dan sanak keluarga. Yang lebih memprihatinkan lagi, tak seorang pun penduduk yang mau membantunya, apalagi mengambilnya sebagai anak angkat. Bahkan ia sering dihina oleh anak-anak kampung yang sebaya dengannya. Meski demikian, Anok Lumang tidak pernah marah dan dendam.
Anok Lumang hidup benar-benar terasing dan sebatang kara di kampung itu. Semua orang jijik untuk datang ke gubuknya dan tidak mau bergaul dengannya, apalagi ia setiap harinya hanya memakai pakaian yang sudah kumal dan penuh dengan tambalan.
Waktu terus berjalan. Anok Lumang tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan. Ia sangat rajin beribadah. Setiap waktu salat tiba, ia senantiasa datang ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. Ia juga pandai mengaji. Ia belajar mengaji pada Gua’au Abdullah, seorang guru ngaji yang belum lama tinggal di kampung itu.
Pada suatu hari, seusai mengajar mengaji, Gua’au Abdullah bertanya kepadanya.
“Hai, Anok Lumang! Berapa umurmu sekarang?” tanya Gua’au Abdullah.
Anok Lumang tersentak kaget mendengar pertanyaan itu. Ia tidak mengerti maksud gurunya itu menanyakan umurnya.
“Ada apa, Tuan Guru? Mengapa Tuan Guru menanyakan umurku?” Anok Lumang balik bertanya.
“Tidak ada apa-apa, Anak Lumang? Aku hanya berpikir bahwa kenapa pemuda setampan kamu belum juga menikah. Bukankah di kampung ini banyak gadis cantik?” jawab Gua’au Abdullah.
“Umur saya 18 tahun. Memang sudah sepantasnya saya menikah. Tapi, saya belum pernah memikirkan hal itu. Apalagi gadis-gadis di kampung ini semuanya menjauhi saya. Mereka enggan dan jijik bergaul dengan saya, karena saya anak yatim piatu dan miskin,” ungkap Anok Lumang.
“Janganlah berkecil hati, Anok Lumang! Hadapilah semua itu dengan tabah dan senantiasalah bekerja keras dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Suatu saat nanti, Tuhan akan memberimu petunjuk,” ujar Gua’au Abdullah.
Sejak itu, Anok Lumang semakin rajin bekerja dan beribadah. Hampir setiap malam ia bangun untuk salat tahajud dan berdoa kepada Tuhan agar dimudahkan jalan hidupnya. Akhirnya, berkat ketekunannya tersebut, ia pun mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Suatu hari, ketika sedang beristirahat di bawah sebuah pohon karena kelelahan setelah mengumpulkan ranting-ranting kayu, Anok Lumang bermimpi didatangi oleh seorang perempuan paruh baya mengenakan pakaian putih-putih. Meskipun berumur paruh baya, perempuan itu tetap tampak cantik, anggun, dan berwibawa. Dalam mimpinya, perempuan cantik itu berpesan kepadanya.
“Wahai, Anak Muda! Kamu harus lebih giat lagi bekerja dan hasilnya kamu tabung! Jika suatu saat tabunganmu sudah terkumpul banyak, pergilah ke kota untuk mengadu nasib. Di sana nasib baik sedang menunggumu!”
Setelah terbangun dari tidurnya, Anok Lumang segera mengingat-ingat isi mimpinya dan mencoba untuk melaksanakan semua pesan perempuan itu. Dengan penuh semangat, setiap hari ia bekerja keras mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk dijual ke pasar. Dua bulan kemudian, kayu bakarnya pun habis terjual. Dengan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke kota yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dalam perjalanan, ia selalu membayangkan kehidupan kota.
Sesampainya di kota, Anok Lumang tidak tahu harus berbuat apa. Namun, hatinya sangat senang melihat keramaian kota dan berbagai jenis barang bagus yang ada di sana. Para penduduk kota rata-rata mengenakan pakaian bagus-bagus. Rumah-rumah penduduk tampak indah berjejer di pinggir jalan. Saat malam menjelang, Anok Lumang bingung harus menginap di mana, karena ia tidak mempunyai sanak keluarga dan kenalan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tidur di masjid. Siang harinya, ia hanya menyusuri jalan-jalan kota tanpa arah dan tujuan, dan lama kelamaan bekalnya pun semakin menipis. Bekal yang tersisa hanya cukup untuk tiga hari. Mulanya, ia berniat untuk kembali lagi ke kampung halamannya, namun ongkos untuk pulang tidak cukup lagi. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk bertahan hidup di kota.
“Ah, aku tidak boleh putus asa. Aku yakin Tuhan pasti akan melindungiku,” ucapnya dengan penuh keyakinan.
Keesokan harinya, Anok Lumang mendengar kabar bahwa penguasa kota sedang mengadakan sayembara. Barang siapa yang mampu menyembuhkan penyakit anak gadis penguasa itu, ia akan dinikahkan dengan sang Gadis dan diangkat menjadi kepala keamanan kota. Akan tetapi, jika gagal ia akan dimasukkan ke dalam penjara.
Anok Lumang pun segera berjalan menuju ke rumah penguasa kota itu. Namun, ia tidak pernah berpikir untuk ikut dalam sayembara itu. Ia hanya ingin menyaksikan sayembara tersebut.
Ketika Anok Lumang tiba di depan rumah penguasa itu, tampaklah para peserta sayembara berkumpul di halaman rumah sedang menunggu giliran dipanggil untuk mengobati sang Gadis yang terbaring lemas di dalam rumah. Ia berdiri di barisan paling belakang sambil memerhatikan para peserta silih berganti masuk ke dalam rumah penguasa kota itu. Beberapa lama kemudian, seluruh peserta sayembara telah mencoba kemampuan ilmu pengobatannya, namun tak seorang pun yang berhasil menyembuhkan penyakit sang Gadis. Sementara Anok Lumang masih terpakau di tempatnya berdiri. Tanpa disadarinya, seorang pengawal datang menghampirinya karena mengiranya sebagai peserta sayembara yang terakhir.
“Hai, Pemuda Kumal! Kenapa kamu hanya berdiri di situ? Kini giliranmu mengobati penyakit anak tuan kami,” tegur pengawal itu.
Anok Lumang sangat terkejut, karena merasa dirinya bukanlah peserta sayembara. Ia pun ketakutan dan hendak pergi meninggalkan tempat itu. Namun, ketika ia akan melangkah pergi, kakinya terasa berat, seakan-akan tertanam di tanah. Secara tidak sengaja, tiba-tiba ia mengangguk seolah ada orang yang menggerakkan kepalanya. Akhirnya, pengawal itu pun mempersilahkannya masuk ke dalam rumah untuk mengobati sang Gadis.
“Tapi, ingat! Jika kamu gagal menyembuhkan penyakit anak tuan kami, maka kamu akan dipenjara!” ancam pengawal itu.
Anok Lumang pun semakin ketakutan mendengar ancaman itu. Namun, apa hendak dibuat, mau menolak ia pun sudah terlanjur menganggukan kepala sebagai tanda siap untuk mengobati sang Gadis. Dengan memohon kepada Tuhan, ia pun mengikuti pengawal itu masuk ke dalam rumah penguasa kota yang megah dan besar itu. Ia dibawa ke sebuah kamar. Saat memasuki kamar itu, ia melihat seorang gadis cantik jelita tergeletak lemas dengan mata tertutup di atas pembaringan.
“Silahkan, wahai pemuda kumal! Jika kamu ingin selamat, keluarkanlah semua kemampuan yang kamu miliki!” seru pengawal itu dengan nada mengancam.
Setelah memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, Anok Lumang mengucap “Bismillah” seraya meniupkan pada kedua telapak tangannya. Kemudian ia seakan-akan mengusapkan kedua telapak tangannya pada seluruh bagian tubuh gadis itu, tanpa menyentuh sedikit pun kulit tubuh sang Gadis. Sungguh ajaib! Beberapa saat kemudian, gadis itu membuka matanya secara pelan-pelan dan langsung bangun sambil mengusap-usap wajahnya tiga kali.
“Ayah, Ibu! Aku ada di mana?” ucap gadis itu memanggil kedua orang tuanya.
Betapa bahagianya para pembantu penguasa kota yang berada di dalam kamar itu. Anak tuan mereka kembali sehat seperti sedia kala. Sementara Anok Lumang badannya gemetar karena takut. Apalagi pengawal itu membawanya menghadap kepada penguasa kota di sebuah ruangan besar.
“Terima kasih, Anak Muda! Kamu telah menyembuhkan penyakit anak gadisku. Siapa sebenarnya kamu ini dan dari mana asalmu?” tanya penguasa kota itu.
“Saya Anok Lumang, Tuan! Saya berasal dari kampung dan pergi ke kota ini untuk mengadu nasib,” jawab Anok Lumang gugup.
“Baiklah, Anok Lumang! Siapa pun dirimu dan dari mana pun asalmu, aku tidak mempermasalahkan. Sesuai dengan janjiku, aku akan menikahkanmu dengan anak gadisku dan mengangkatmu menjadi kepala keamanan kota ini,” kata penguasa kota itu.
Mendengar pernyataan itu, hati Anok Lumang yang semula gelisah tiba-tiba berubah menjadi senang dan gembira seraya berucap sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.
“Terima kasih Tuhan atas segala nikmat-Mu ini!”
Seminggu kemudian, Anok Lumang pun dinikahkan dengan anak gadis penguasa itu. Pesta pernikahan mereka yang berlangsung selama tujuh hari tujuh malam tersebut dihadiri oleh para undangan yang datang dari berbagai negeri. Dalam pesta tersebut dipergelarkan berbagai jenis tarian dan musik. Para undangan bersuka ria dan bahagia melihat pasangan pengantin yang sedang duduk bersanding di atas pelaminan.
Usai pesta tersebut, penguasa kota itu segera mengangkat Anok Lumang menjadi kepala keamanan kota. Sejak itu, Anok Lumang selalu dikawal ke mana pun pergi dan kehidupannya pun serba berkecukupan.
Setelah beberapa lama menikah, mereka pun dikaruniai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempun. Anok Lumang sangat bahagia hidup bersama istri dan kedua anaknya. Namun, kebahagiaan tersebut tidak membuatnya lupa kepada kampung halamannya. Ia pun berniat mengajak keluarganya untuk melihat tempat kelahirannya itu.
Pada suatu hari, Anok Lumang menyampaikan niat tersebut kepada mertuanya. Mendengar keinginan menantunya itu, sang mertua pun membekalinya harta yang banyak, kendaraan, dan sejumlah pengawal. Maka, berangkatlah rombongan Anok Lumang menuju ke kampung halamannya. Ketika mereka tiba di kampung Anok Lumang, para warga terheran-heran melihat kedatangan mereka.
“Siapa gerangan orang kaya dan berpangkat itu?” tanya seorang warga heran.
“Hei, lihat! Rombongan menuju ke gubuk Anok Lumang!” seru seorang warga lainnya.
“Wah, jangan-jangan orang kaya itu si Anok Lumang?” sahut seorang warga lagi.
Tak berapa lama, rombongan itu berhenti di depan gubuk Anok Lumang yang hampir roboh itu.
“Bang, kenapa kita berhenti di sini? Apakah ini tempat tinggal Abang?” tanya istri Anok Lumang heran.
“Iya, Istriku! Di gubuk inillah Abang dilahirkan,” jawab Anok Lumang sambil tersenyum.
Mendengar jawaban Anok Lumang, istri dan anak-anaknya serta para pengawalnya tersentak kaget. Mereka tidak mengira jika tempat tinggal Anok Lumang hanyalah sebuah gubuk reot. Melihat kondisi gubuk suaminya yang memprihatinkan itu, sang Istri pun segera memerintahkan seluruh pengawalnnya untuk membangun sebuah rumah yang bagus. Dalam waktu tidak lama, rumah yang dimaksud itu pun selesai dibangun.
Para penduduk pun gempar dan malu saat mengetahui bahwa orang kaya itu adalah Anok Lumang yang sering mereka hina dulu. Namun, Anok Lumang tetap rendah hati seperti dulu. Ia tidak pernah merasa dendam dan tetap ramah kepada tetangga dan penduduk di sekitarnya.
Sejak itu, Anok Lumang sering mengunjungi kampung halamannya bersama istri dan kedua anaknya. Ia sangat disegani dan dihormati oleh penduduk sekitar, karena senantiasa membantu orang-orang yang tidak mampu di kampungnya. Namanya pun semakin terkenal karena kemuliaan hati dan sikapnya yang sangat pemurah.
* * *
Demikian cerita Anok Lumang dari daerah Lebong, Bengkulu. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas yaitu keutamaan sifat bekerja keras dan rajin berdoa, dan tidak pendendam atau murah hati.
Pertama, keutamaan sifat bekerja keras dan rajin berdoa. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Anok Lumang yang selalu bekerja keras dan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat kerja keras dan ketekunannya beribadah tersebut, ia pun dapat menikah dengan anak gadis penguasa kota dan diangkat menjadi kepala keamanan kota. Dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja rajin, beramal pun taat
bekerja rajin, beramal pun taat
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
bekerja dengan penuh semangat
wahai ananda dengarlah pesan,
dalam bekerja banyakkan ingat
jangan dikira ringan dan berat
semoga hidupmu beroleh berkah
dalam bekerja banyakkan ingat
jangan dikira ringan dan berat
semoga hidupmu beroleh berkah
Kedua, keutamaan sifat tidak pendendam atau murah hati. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Anok Lumang. Meskipun telah menjadi orang kaya raya, ia tidak pernah sakit hati dan dendam kepada tetangga dan penduduk di kampungnya yang sering menghinanya ketika ia masih kecil. Bahkan ia menjadi orang kaya yang pemurah, sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
adat hidup bermasyarakat,
pantang sekali berdendam kesumat
pantang sekali berdendam kesumat
apa tanda Melayu terpuji,
dendam mendendam pantang sekali
tangan pemurah suka memberi
dendam mendendam pantang sekali
tangan pemurah suka memberi
wahai ananda sibiran tulang,
janganlah ragu memaafkan orang
sengketa habis dendam dibuang
hati pemurah hidupmu dikasihi orang
janganlah ragu memaafkan orang
sengketa habis dendam dibuang
hati pemurah hidupmu dikasihi orang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar