Peu Mana Meinegaka Sawai merupakan bahasa dari daerah Papua yang berarti kabut membawa petaka. Kabut yang dianggap sering membawa petaka itu berada di puncak Gunung Zega di daerah Bilai, Kabupaten Paniai, Provinsi Papua, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika kabut itu sewaktu-waktu muncul di puncak gunung pertanda akan terjadi petaka besar. Bagaimana asal mula kepercayaan itu muncul pada masyarakat Paniai? Lalu, petaka besar apakah yang akan terjadi jika kabut itu muncul di puncak Gunung Zega? Ikuti kisahnya dalam cerita Peu Mana Meinegaka Sawai berikut ini.
Alkisah, di daerah Paniai, Papua, terdapat sebuah kampung bernama Bilai. Tidak jauh dari kampung terdapat sebuah gunung yang berdiri tegak dan tinggi bernama Zega. Penduduk kampung Bilai percaya bahwa gunung itu ada penghuninya. Apabila terserang wabah penyakit, mereka meminta sering bantuan kepada penghuni gunung itu melalui seorang pawang yang diyakini memiliki kesaktian yang tinggi.
Suatu hari, penduduk Bilai ingin mengetahui dan melihat langsung wujud penunggu gunung itu. Oleh karena rasa penasaran tersebut, para penduduk mengundang seorang pawang untuk bermusyawarah di Balai Desa.
“Maaf, Pawang! Kami mengundang sang pawang untuk berkumpul di tempat ini atas permintaan seluruh warga,” ungkap tetua kampung membuka musyawarah itu.
“Kalau boleh saya tahu, ada apa gerangan?” tanya sang pawang penasaran.
Tetua kampung kemudian menjelaskan mengenai maksud mereka. Setelah mendengar penjelasan tersebut, sang pawang pun dapat memahami keinginan seluruh warga.
“Baiklah kalau begitu. Saya akan mengantar kalian menuju ke puncak Gunung Zega. Saya pun merasa penasaran ingin mengetahui siapa sebenarnya penghuni Gunung Zega itu. Selama ini saya selalu meminta bantuan kepadanya, tetapi belum pernah bertemu secara langsung,” ungkap sang pawang.
Keesokan hari, para penduduk dari kaum laki-laki berangkat bersama sang pawang menuju ke puncak Gunung Zega dengan membawa senjata berupa tombak. Perjalanan yang mereka lalui cukup sulit karena harus melewati hutan lebat, menyeberangi sungai, dan memanjat tebing yang terjal. Meski demikian, mereka berjalan tanpa mengenal lelah dan pantang menyerah demi menghilangkan rasa penasaran mereka.
Setibanya di puncak Gunung Zega, para penduduk beristirahat untuk melepaskan lelah. Suasana di puncak gunung itu sangat dingin dan sunyi mencekam. Yang terdengar hanya suara-suara binatang dan kicauan burung memecah kesunyian. Saat mereka tengah asyik beristirahat, tiba-tiba seekor biawak besar melintas tidak jauh dari tempat mereka beristirahat.
“Hai, lihat! Makhluk apakah itu?” teriak salah seorang anggota rombongan ketika melihat biawak itu.
Mendengar teriakan itu, anggota rombongan lainnya segera beranjak dari tempat duduk mereka. Betapa terkejutnya mereka ketika melihat seekor biawak besar berkepala manusia, kakinya seperti kaki cicak, dan berkulit keras seperti kulit biawak. Dengan tombak di tangan, mereka kemudian mengepung biawak itu.
“Ayo kita habisi saja makhluk aneh itu!” seru seorang warga.
“Tenang saudara-saudara! Kita tidak perlu gegabah. Saya yakin, makhluk inilah penghuni gunung ini,” kata sang pawang.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan terhadap makhluk ini?” tanya seorang warga.
“Sebaiknya kita tangkap saja biawak ini,” ujar sang pawang.
Akhirnya para penduduk bersepakat untuk menangkap biawak itu dan membawanya pulang ke kampung. Setiba di kampung, biawak berkepala manusia itu menjadi tontonan seluruh warga. Mereka sangat heran melihat wujud makhluk itu. Kaum lelaki segera membuatkan kandang biawak itu untuk dipelihara. Jika suatu ketika mereka mendapat musibah, mereka dengan mudah meminta bantuan kepada biawak yang diyakini sebagai penghuni Gunung Zega itu.
Tanpa mereka duga, ternyata biawak itu dapat berbicara layaknya manusia.
“Wahai seluruh penduduk kampung ini! Saya berjanji akan memenuhi segala keinginan kalian tetapi dengan satu syarat,” kata biawak itu.
“Apakah syaratmu itu wahai biawak?” tanya sang pawang.
“Kalian harus memberikan saya satu kepala suku atau kepala kepala perang sebagai tumbal,” pinta biawak itu.
Para penduduk pun tergiur mendengar janji biawak itu. Setiap penduduk menginginkan harta benda. Untuk itulah, mereka berlomba-lomba mencari satu kepala suku atau kepala perang untuk diserahkan kepada biawak itu. Perang antarsuku pun tak terhindarkan sehingga banyak kepala perang dan kepala suku yang menjadi korban.
Lama-kelamaan, kaum lelaki di daerah itu semakin hari semakin berkurang. Setelah melihat akibat dari menuruti permintaan biawak itu, para penduduk menjadi sadar. Akhirnya mereka bersepakat untuk membinasakan biawak itu agar tidak ada lagi warga yang menjadi korban. Mereka pun menombak biawak itu hingga tewas. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, biawak itu sempat menyampaikan sebuah pesan kepada warga.
“Jika ada kabut yang muncul di puncak Gunung Zega, maka itu pertanda akan terjadi perang.”
Sejak itulah, penduduk Bilai percaya bahwa kabut di puncak Gunung Zega adalah kabut pembawa petaka.
* * *
Demikian cerita Peu Mana Meinegaka Sawaii dari Piniai, Papua. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah bahwa hendaknya kita tidak mementingkan diri sendiri daripada kelompok seperti para penduduk Kampung Piniai. Oleh karena keinginan untuk mendapatkan harta benda, mereka rela mengorbankan kepala suku atau pun kepala perang mereka. Akibatnya, mereka banyak kehilangan anggota masyarakat. Untung hal tersebut segera mereka sadari sehingga tidak lagi ada korban berjatuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar