Lona Kaka dan Lona Rara adalah dua orang kakak-beradik yang tinggal di Desa Bukambero, Kodi, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Di mana pun pergi, kedua kakak-beradik tersebut senantiasa selalu bersama dan saling membantu. Pada suatu hari, sang Adik, Lona Rara, sangat marah kepada kakaknya, sehingga berniat untuk menghilangkan nyawanya. Mengapa Lona Rara sangat marah kepada kakaknya? Berhasilkah ia menghabisi nyawa kakaknya? Ikuti kisahnya dalam cerita Lona Kaka dan Lona Rara berikut ini.
Alkisah, di Desa Bukambero, Kodi, Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang anak gadisnya. Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona Rara. Kedua kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari orang tua mereka. Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika memperoleh keberhasilan.
Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi, Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya. Untuk itu, ia membujuk adiknya agar mau menemaninya mengambil air di sungai. Ia pun menyuruh adiknya untuk berjalan di depannya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah mengambil dendeng itu tanpa sepengetahuan adiknya.
“Adikku! Maukah kamu menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka.
“Baiklah, Kak!” jawab Lona Rara menuruti bujukan kakaknya.
Keduanya pun berjalan menuju ke sungai sambil memikul dua buah wadah air yang terbuat dari bambu. Lona Rara berjalan di depan, sedangkan Lona Kakak mengikutinya dari belakang. Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara menyimpan dendengnya di wadah airnya yang belakang. Beberapa kali Lona Kaka berusaha untuk mengambil dendeng itu, namun tidak berhasil karena selalu ketahuan Lona Rara. Meski begitu, Lona Kaka tidak kehabisan akal. Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon.
“Adikku, Kakak sudah selesai. Kini giliranmu untuk mengisi wadah airmu. Sini Kakak bantu membawakan dendengmu agar kamu dapat mengambil air dengan leluasa!” ujar Lona Kaka.
Lona Rara pun menyambut baik tawaran kakaknya. Setelah menitipkan dendeng miliknya kepada Lona Kaka, ia segera turun ke sungai untuk mengambil air. Namun, baru mengisi setengah wadah airnya, tiba-tiba ia mendengar kakaknya berteriak.
“Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak Lona Kaka seraya mengejar anjing itu.
Rupanya, Lona Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu berpura-pura mengejarnya. Lona Rara yang mendengar teriakan kakaknya segera naik ke darat dan membiarkan tempat airnya tergeletak di pinggir sungai. Melihat kakaknya mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam, namun ia tidak menemukan anjing yang membawa dendengnya. Saat akan kembali ke rumahnya, ia tersesat. Ia berjalan menyusuri hutan itu mengikuti ke mana arah kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan kekesalannya terhadap tindakan kakaknya.
Ou kagu pama nowo ragu
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Ou kakakku yang kucinta
Mengapa kau membuat aku begini
Membiarkan aku jalan sendiri
Ou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali ke rumah
Pai balimu lolokingga neghe
Mu gaiga zauwa kako kania
Ou Gela wuamaroto padua pogawa atenggu
Gaika ku bali wainya
Ou kakakku yang kucinta
Mengapa kau membuat aku begini
Membiarkan aku jalan sendiri
Ou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali ke rumah
Usai bernyanyi, Lona Rara membuka pakaiannya yang sudah kotor lalu mencucinya dan mandi. Saat sedang asyik mandi, tiba-tiba ia melihat sebatang pohon jeruk yang berbuah lebat tumbuh di tepi sungai. Setelah melihat di sekelilingnya dan tidak melihat adanya orang lain di sekitar itu, ia segera memetik satu buah jeruk untuk dijadikan pewangi tubuh. Betapa terkejutnya ia ketika membelah buah jeruk itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan dan gagah di hadapannya. Ia pun langsung menjerit karena ia masih dalam keadaan tanpa busana. Ia sangat malu, karena pemuda itu telah melihat bagian tubuhnya yang selama ini ditutupinya. Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya, pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Hai, pemuda tampan! Kenapa engkau tiba-tiba muncul dari dalam buah jeruk itu?” tanya Lona Rara dengan malu-malu.
“Maaf, Putri! Bukankah Putri sendiri yang meminta bantuan kepadaku?” jawab pemuda itu sambil menunduk untuk memberi hormat di hadapan Lona Rara.
“Siapa sebenarnya engkau ini?” Lona Rara kembali bertanya.
“Saya adalah Gela Wuamaroto seperti yang Putri dendangkan dalam lagu itu. Saya datang untuk mengantar Putri pulang ke rumah dan memberikan ketenteraman kepada Putri,” ujar pemuda tampan yang mengaku bernama Gela Wuamaroto.
Hati Lona Rara menjadi senang bercampur heran, karena tidak menyangka nyanyiannya telah menjadi kenyataan. Hari pun sudah mulai gelap. Gela Wuamaroto mengajak Lona Rara mencari tempat beristirahat. Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam. Usai makan, mereka pun langsung tertidur pulas.
Keesokan harinya, Lona Rara sangat terkejut, karena didekatnya telah tersedia ayam panggang.
“Hai, kenapa masih ada ayam panggang di sini? Bukankah ayam panggang yang tadi malam sudah habis?” gumam Lona Rara.
Melihat Lona Rara terbangun, Gela Wuamaroto yang sedang berdiri di depan pintu gua segera menghampirinya.
“Maaf Putri! Saya yang menyediakan ayam panggang itu untuk sarapan kita berdua,” ujar Gela Wuamaroto sambil tersenyum.
Lona Rara dan Gela Wuamaroto pun segera menyantap ayam panggang itu. Setelah itu, mereka saling berkenalan, saling jatuh cinta, dan akhirnya mereka pun menikah. Karena asyik dimabuk cinta, Lona Rara menjadi lupa untuk kembali ke rumahnya. Demikian pula, Gela Wuamaroto, ia lupa untuk mengantar pulang Lona Rara. Sepasang pengantin baru itu keasyikan menikmati hari-hari yang indah bersama di tengah hutan tersebut, sehingga tak terasa sudah satu bulan mereka hidup bersama.
Suatu hari, Lona Rara tiba-tiba teringat kepada keluarganya. Ada kerinduan di hatinya ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka.
“Kanda! Kapan Kanda akan mengantar Dinda menemui keluarga Dinda?” tanya Lona Rara.
“Besok, Dinda,” jawab Gela Wuamaroto.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lona Rara dan suaminya bersiap-siap pulang ke rumahnya. Sebelum berangkat, Gela Wuamaroto memberikan pakaian tenun Sumba yang sangat indah kepada Lona Rara untuk dihadiahkan kepada keluarganya. Setelah menempuh perjalanan selama setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya. Apalagi ia datang bersama dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sambil tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya. Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya tertutup rapat.
“Ayah...Ibu...! Rara pulang!” teriak Lona Rara dengan perasaan gembira.
Berkali-kali Lona Rara berteriak, namun tak ada jawaban. Beberapa saat kemudian, barulah pintu rumahnya terbuka pelan-pelan. Saat pintu terbuka, tampaklah kakaknya, Lona Kaka, sedang membuka pintu dan berdiri di depan pintu dengan wajah memerah. Ia seakan tidak percaya bahwa adiknya masih hidup. Ia pun langsung memeluk Lona Rara.
“Maafkan aku, Adikku! Kakak telah meninggalkanmu seorang diri di tengah hutan,” ucap Lona Kaka.
“Sudahlah, Kak! Yang penting Adik selamat dan bisa kembali berkumpul bersama kalian,” bujuk Lona Rara.
“O iya, Kak! Ayah, Ibu ke mana? Kenapa mereka tidak kelihatan?” tanya Lona Rara heran.
Mendengar pertanyaan itu, Lona Kaka kembali memeluk adiknya dengan erat sambil meneteskan air mata.
“Adikku! Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya,” jawab Lona Kaka dengan sedih.
“Apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibu, Kak?” desak Lona Rara.
Lona Kaka pun menceritakan musibah yang telah menimpa kedua orang tua mereka.
“Sebulan yang lalu, Ayah dan Ibu mendapat celaka saat mencari Adik di tengah hutan. Seorang warga menemukan mereka di tengah hutan dalam keadaan terluka parah dan tidak bernyawa lagi akibat digigit binatang buas,” jelas Lona Kaka.
Mendengar keterangan itu, Lona Rara pun tidak sanggup menahan air mata. Ia menangis tersedu-sedu meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang sangat dicintainya. Sejenak, suasana di depan rumah yang sederhana itu pun tiba-tiba menjadi hening. Beberapa saat kemudian, Lona Rara meminta kepada kakaknya agar mengantarnya ke tempat pemakaman kedua orang tua mereka. Sesampainya di depan kuburan kedua orang yang dicintainya itu, Lona Rara kembali menangis tersedu-sedu menyesali semua peristiwa yang telah terjadi.
“Sudahlah, Dinda! Semuanya sudah diatur oleh Yang Mahakuasa. Ayo kita kembali ke rumah!” bujuk Gela Wuamaroto.
Lona Rara bersama suami dan kakaknya pun kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian, setelah kesedihannya hilang, Lona Rara menceritakan semua peristiwa yang dialaminya ketika tersesat di hutan kepada kakaknya. Mendengar cerita itu, timbullah keinginan Lona Kaka untuk pergi ke tempat di mana adiknya bertemu dengan Gela Wuamarota, dengan harapan dirinya pun akan bernasib sama seperti adiknya.
Keesokan harinya, secara diam-diam, Lona Kaka pergi sendirian ke tempat itu. Sebelum mandi, ia memetik satu buah jeruk yang sudah menguning. Begitu ia membelah jeruk itu, bukannya pemuda tampan yang muncul, melainkan seorang lelaki tua berjenggot putih. Ia pun langsung menjerit ketakutan dan berlari meninggalkan tempat itu. Dalam hatinya tersimpan rasa penyesalan yang begitu mendalam karena tidak memetik buah jeruk yang masih muda.
Sesampainya di rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya. Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya itu.
Pada suatu malam, Gela Wuamaroto meminta izin kepada Lona Rara untuk pergi berdagang bersama beberapa warga desa lainnya ke negeri seberang.
“Dinda! Kanda ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam waktu yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Baiklah, Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah paman untuk memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara tersenyum.
“Baiklah, Dinda!” jawab Gela Wuamaroto sambil menatap wajah istrinya dengan penuh cinta.
Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke negeri seberang bersama beberapa warga desa lainnya. Seminggu setelah kepergian Gela Wuamaroto, Lona Kaka pun mulai menyusun siasat untuk menghilangkan nyawa Lona Rara agar dapat merebut suaminya. Pada suatu hari, ia mengajak adiknya itu mencari kayu bakar di hutan. Setelah berjalan cukup jauh ke tengah hutan, sampailah mereka pada sebuah jurang yang cukup dalam.
“Adikku! Kita beristirahat di sini dulu. Kakak capek berjalan jauh,” ujar Lona Kaka.
Lona Kaka dan adiknya pun beristirahat tidak di dekat jurang itu. Setelah rasa lelah mereka hilang, Lona Kaka memanjat sebuah pohon yang rantingnya telah kering di tepi jurang yang terjal. Saat berada di atas pohon, ia meminta kepada adiknya untuk membawakannya parang yang sengaja ditinggalkan di dekat adiknya.
“Aduh, Adikku! Kakak lupa membawa parang. Tolong ambilkan parang yang ada di dekatmu itu!” seru Lana Kaka dari atas pohon.
Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara ikut memanjat pohon untuk memberikan parang itu kepada kakaknya. Sesampainya di atas pohon, ia menyerahkan parang itu kepada kakaknya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya berpegangan pada sebuah ranting yang kering. Begitu mengambil parang itu dari tangan kiri adiknya, pada saat yang bersamaan, Lona Kaka juga menginjak ranting tempat Lona Rara berpegangan hingga patah. Tak ayal lagi, Lona Rara pun terjatuh dari atas pohon dan terguling-guling hingga ke dasar jurang.
Melihat kejadian itu, Lona Kaka bukannya menolong adiknya, melainkan tersenyum sinis.
“Rasakanlah itu, Rara! Gela Wuamaroto akan menjadi milikku!” seru Lona Kaka.
Dengan perasaan puas dan gembira, Lona Kaka turun dari pohon itu dan kemudian pulang ke rumahnya. Sesampainya di desa, ia berpura-pura sedih meratapi nasib adiknya. Seluruh warga pun turut berduka cita mendengar berita duka tersebut. Namun, Lona Kaka tidak mengira jika ternyata adiknya masih hidup. Rupanya, ketika Lona Rara terjatuh ke jurang itu, tubuhnya tersangkut pada tanaman yang menjalar di tebing. Berkat usahanya memanjat tebing yang curam itu, ia berhasil sampai ke puncak tebing dan selamat.
Sesampainya di atas, Lona Rara pun berteriak-teriak memanggil kakaknya.
“Kakak! Kamu di mana?” teriaknya.
Beberapa kali Lona Rara berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari kakaknya. Ia pun menyadari bahwa ternyata kakaknya telah berniat jahat kepadanya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk langsung ke rumah pamannya. Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak kepada pamannya.
Beberapa hari kemudian, Gela Wuamaroto pun kembali dari rantauannya untuk membawakan oleh-oleh kepada pamannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat istrinya berada di tempat itu.
“Hai, Dinda! Kenapa Dinda ada di sini?” tanya Gela Wuamaroto dengan heran.
Melihat suaminya datang, Lona Rara pun langsung memeluknya dengan erat. Kemudian ia menceritakan semua peristiwa yang telah dialaminya hingga ia bisa berada di rumah pamannya. Mendengar cerita istrinya, Gela Wuamaroto pun bercerita bahwa selama ini Lona Kaka selalu merayunya.
“Ketahuilah, Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah jatuh dipelukan kakak Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda tidak berada di rumah. Itulah sebabnya, Kanda memutuskan untuk pergi merantau agar Kanda terhindar dari rayuan manisnya,” ungkap Gela Wuamaroto.
Mendengar pengakuan suaminya, Lona Rara pun naik pitam. Ia sangat marah terhadap sikap dan perbuatan kakaknya.
“Huh, Dinda harus membalas perbuatan Kak Lona Kaka!” seru Lona Rara dengan geramnya.
Gela Wuamaroto pun sejenak. Ia mencoba untuk memahami perasaan istrinya. Setelah itu, ia mencoba untuk membujuknya agar mengurungkan niatnya membalas dendam.
“Maaf, Dinda! Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda satu-satunya. Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru perbuatan jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto.
“Tidak, Kanda! Sejak dulu Kak Lona Kaka selalu iri dan dengki terhadap Dinda. Dia sudah berkali-kali berusaha ingin mencelakai Dinda. Jika hal ini dibiarkan terus, suatu saat dia akan membunuh Dinda,” ujar Lona Rara.
Mendengar keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun tak sanggup berbuat apa-apa. Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan suaminya segera menyusun siasat untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka. Mereka memesan dua buah peti yang berukir sangat indah. Peti yang satu akan mereka isi dengan perhiasan emas dan berlian, sedangkan untuk peti yang satunya Lona Rara akan masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah pisau yang runcing dan tajam.
Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui Lona Kaka. Ia berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda beban yang mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara tersebut. Sesampainya di kampung halaman istrinya, Gela Wuamaroto segera menuju ke rumah istrinya. Lona Kaka yang sedang asyik menenun segera bangkit untuk menyambut kedatangan Gela Wuamaroto.
“Maafkan aku, Gela Wuamaroto! Aku tidak dapat menjaga Adik Lona Rara,” kata Lona Kakak sambil berpura-pura menangis.
“Apa yang terjadi dengannya, Kakak Ipar?” Gela Wuamaroto pun berpura-pura bertanya.
“Lona Rara meninggal dunia, karena dimakan buaya saat kami sedang mandi di sungai,” jawab Lona Kaka dengan muka sedih.
Mendengar keterangan itu, Gela Wuamaroto berpura-pura terkejut dan terlihat murung. Ia kemudian turun dari kudanya dan menambatkan kedua kudanya pada batang pohon di depan rumah. Ketika ia menurunkan kedua peti itu dari kudanya, Lona Kaka menghampirinya.
“Apa isi peti itu, Gela?” tanya Lona Kaka ingin tahu.
Dengan wajah murung, Gela Wuamaroto menyuruh Lona Kaka untuk membuka salah satu dari kedua peti itu. Ketika Lona Kaka membuka peti itu, matanya langsung terbelalat melihat isi peti yang terdiri dari berbagai macam perhiasan emas dan berlian. Setelah Lona Kaka melihat isi peti itu, Gela Wuamaroto menyuruhnya untuk membuka peti yang satunya.
“Kakak Ipar! Buka dan ambillah semua isi peti yang satu itu! Aku hadiahkan untukmu,” ujar Gela Wuamaroto.
Dengan perasaan senang dan gembira, Lona Kaka pun segera membuka peti yang masih tertutup rapat itu. Begitu peti itu terbuka, tiba-tiba Lona Rara meloncat keluar dan menikamkan pisaunya berkali-kali ke arah dada kakaknya.
“Terimalah pembalasanku ini, Kak!” teriak Lona Rara.
Tak ayal lagi, Lona Kaka pun tewas seketika dengan bersimbah darah. Melihat kakaknya terkapar di tanah dalam keadaan tidak bernyawa, Lona Rara pun berteriak histeris. Ia sangat menyesal atas apa yang baru saja dilakukannya. Namun, apalah guna menyesal kemudian. Nasi sudah menjadi bubur. Nyawa kakaknya tidak dapat ditolong lagi.
* * *
Demikian cerita Lona Kaka dan Lona Rara dari daerah Nusantara Tenggara Timur. Cerita di atas termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik, yaitu: akibat buruk dari sifat suka iri hati dan pendendam. Sifat iri hati ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Lona Kaka, sedangkan sifat pendendam terlihat pada perilaku Lona Rara. Dalam kehidupan orang Melayu, kedua sifat tersebut harus dijauhi karena dapat mengakibatkan terjadinya perselisihan, perpecahan, dan bahkan pembunuhan antarsesama saudara. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau suka iri mengiri,
sahabat menjauh, saudara pun lari
kalau tak mau bermaaf-maafan,
hidup selalu dalam permusuhan
sahabat menjauh, saudara pun lari
kalau tak mau bermaaf-maafan,
hidup selalu dalam permusuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar