Ai Mangkung adalah sejenis nama air sungai yang terdapat di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, jika air Ai Mangkung tersebut diminum oleh penduduk Desa Tarusa, selain terasa sepat air tersebut juga dapat menimbulkan penyakit. Mengapa air Ai Mangkung terasa sepat dan menimbulkan penyakit bagi penduduk Desa Tarusa yang meminumnya? Ingin tahu penyebabnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Ai Mangkung berikut ini.
Alkisah, di sebuah bukit dekat Olat Pamanto Asu`, Sumbawa, terdapat sebuah desa yang tenteram bernama Jompang. Desa tersebut dipimpin oleh seorang datu atau kepala desa yang bernama Datu Palowe`. Ia mempunyai dua orang anak, yaitu seorang anak laki-laki bernama Lalu Wanru, dan seorang anak perempuan bernama Lala Sri Menanti. Keduanya telah beranjak dewasa. Lala Sri Menanti seorang gadis yang cantik nan rupawan. Karena kecantikannya, ia menjadi anak kesayangan Datu Palowe`. Segala keinginannya selalu dipenuhi oleh sang Ayah. Mulai dari pakaian yang bagus-bagus hingga berbagai perhiasan yang indah-indah. Tak heran, jika anting-anting, kalung, gelang tangan, hingga gelang kaki senantiasa menghiasi seluruh tubuhnya.
Pada suatu hari, Lala Sri Menanti ingin sekali makan udang. Keinginan itu pun ia sampaikan kepada ayahnya. Tanpa berpikir panjang, sang Ayah pun bersedia memenuhi keinginan anak kesayangannya itu.
“Baiklah, Anakku! Keinginanmu akan segera terpenuhi,” kata ayahnya seraya memerintahkan Amaq Bangkel dan Inaq Bangkel pergi ke sungai untuk me-nempas.
Mendengar perintah itu, kedua suruhan Datu Palowe` tersebut segera bersiap-siap untuk berangkat ke sungai. Ketika mereka sedang sibuk menyiapkan peralatan yang akan mereka bawa, Lala Sri Menanti mengajukan satu permintaan lagi kepada ayahnya.
“Ayah! Bolehkah Lala ikut bersama mereka ke sungai? Lala ingin melihat mereka menangkap udang,” pinta Lala Sri Menanti.
Sang Ayah pun memenuhi permintaannya. Akhirnya, Lala Sri Menanti bersama Amaq Bangkel dan Inaq Bangkel, serta beberapa orang lainnya berangkat ke sungai Olat Pamanto Asu`. Setibanya di tepi sungai, Lala duduk di atas sebuah batu besar sambil menyaksikan orang-orang menempas dan menunggu udang hasil tangkapan mereka.
Pada saat itu, datang pula empat orang pemuda dari desa tetangga, Desa Tarusa, hendak menebang bambu yang banyak tumbuh di tepi Sungai Olat Pamanto Asu`. Rupanya, kedatangan mereka tidak diketahui oleh Lala Sri Menanti dan rombongannya. Salah seorang pemuda yang melihat Lala duduk seorang diri di tepi sungai tersentak kaget.
“Hai, lihat! Siapa gadis yang duduk di atas batu itu?” seru salah seorang pemuda.
“Bukankah gadis itu putri Datu Palowe` dari Desa Jompang?” sahut seorang pemuda yang lain.
“Kamu benar, kawan!” sambung pemuda yang lainnya seraya memuji, ”Aduhai, cantiknya gadis itu!”
Keempat pemuda tersebut terpesona melihat kecantikan Lala Sri Menanti. Tapi, rupanya mereka lebih tertarik pada perhiasan yang dikenakan gadis cantik itu. Meskipun mengetahui bahwa Lala Sri Menanti putri Datu Palewo`, mereka tetap berniat merampas perhiasannya.
“Apa yang harus kita lakukan agar tak seorang pun yang mengetahui perbuatan kita?” tanya salah seorang dari pemuda tersebut dengan bingung.
Setelah berunding, keempat pemuda tersebut menemukan sebuah cara, yaitu akan menyergap Lala Sri Menanti dari belakang secara diam-diam. Begitu para pencari udang tersebut semakin jauh meninggalkan Lala di tepi sungai, mereka pun mengendap-endap dari balik semak belukar, lalu menyergap tubuh Lala. Gadis cantik itu pun tersentak kaget. Ketika ia hendak berteriak meminta tolong, salah seorang di antara mereka menyumbat mulutnya dengan sehelai kain. Sementara tiga pemuda lainnya segera melucuti satu per satu perhiasan yang melekat pada tubuhnnya. Gadis malang itu meronta-meronta berusaha untuk melepaskan diri. Namun apa daya, ia tidak mampu mengimbangi kekuatan mereka. Ia hanya bisa pasrah seluruh perhiasannya dirampas oleh keempat pemuda tersebut.
Usai merampas seluruh perhiasan Lala Sri Menanti, salah seorang di antara mereka yang bernama Ua Nyawa mencabut parang yang terselip dipinggangnya, lalu memotong lengan kanan Lala. Hanya sekali tebasan, lengan Lala pun terputus. Dalam waktu singkat, gadis cantik yang malang itu langsung kehabisan darah dan akhirnya meninggal dunia di tepi sungai itu.
Melihat putri Datu Palowe` tidak bernyawa lagi, keempat pemuda tersebut segera meninggalkan tempat itu dan membawa seluruh perhiasan hasil rampasan mereka ke Desa Tarusa. Namun, sebelum meninggalkan tempat itu, Ua Nyawa membuang potongan lengan Lala Sri Menanti ke sungai.
Sementara itu, Amaq Bangkel dan Inaq Bangkel dan teman-temannya tidak mengetahui kejadian mengerikan yang menimpa Lala Sri Menanti, karena asyik mencari udang. Begitu selesai menangkap udang, mereka kembali ke tepi sungai untuk menemui Lala Sri Menanti. Betapa terkejutnya mereka ketika mendapati anak kesayangan pemimpin mereka dalam keadaan tewas mengenaskan. Mereka sangat menyesal karena tidak mampu menjaga keselamatan Lala Sri Menanti. Mereka kemudian membawa pulang jasad Lala Sri Menanti ke desa. Datu Palowe` pun tak sanggup menahan air mata atas musibah yang menimpa anaknya.
Beberapa hari kemudian, terdengarlah kabar bahwa orang yang telah menghabisi nyawa Lala Sri Menanti adalah empat orang pemuda dari Desa Tasura. Mengetahui hal tersebut, Datu Malewo` melarang keempat pemuda tersebut meminum air Sungai Olat Pamanto Asu`. Jika mereka meminumnya, selain terasa sepat air itu juga dapat menimbulkan penyakit. Sejak itu, para penduduk Desa Tarusa pun tidak berani meminum air sungai itu, karena takut terkena penyakit.
* * *
Demikian cerita Ai Mangkung dari daerah Sumbawa, Nusantara Tenggara Barat. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, tangan Lala Sri Menanti yang dibuang ke sungai menjelma menjadi seekor ikan tuna buntung dan mulutnya berwana merah delima seperti bibir seorang gadis. Mereka juga mempercayai bahwa bukit yang berada di dekat Sungai Olat Pamanto Asu` merupakan bekas tempat tinggal Datu Palewo`. Di bagian atas bukit tersebut terdapat beberapa batu yang berbentuk dipan berukir, peti, dan kursi yang dipercaya sebagai peninggalan Datu Palowe`.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa hendaknya orang tua tidak terlalu memanjakan anak dengan menuruti segala keinginannya, karena hal tersebut dapat menimbulkan malapetaka bagi anak itu sendiri. Hal ini terlihat pada sikap dan perilaku Datu Malewo` yang telah menuruti segala kinginan anaknya dengan membelikan berbagai macam perhiasan. Akibatnya, ketika anaknya pergi ke sungai tewas setelah seluruh perhiasannya dirampas oleh empat orang pemuda. Dari sini dapat sebuah pelajaran bahwa jika kita hendak bepergian hendaknya tidak mengenakan pakaian atau pun perhiasan yang mencolok, sehingga tidak mengundang perhatian orang lain untuk berbuat jahat kepada kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar