Pada zaman dahulu, Negeri Riau sangat makmur dengan bandar-bandar yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai negeri. Negeri itu mempunyai hulubalang-hulubalang yang berani dan gagah perkasa. Selain itu, juga memiliki panglima yang sangat sakti, Panglima Kawal namanya.
Kemakmuran dan kesejahteraan Negeri Riau sangat terkenal. Banyak sudah lanun yang berusaha untuk menguasai negeri itu. Namun, berkat ketangkasan Panglima Kawal dan para hulubalangnya, negeri Riau selalu dapat diselamatkan.
Pada suatu hari, pelabuhan Riau begitu ramai dengan pedagang yang baru tiba dari negeri-negeri jauh. Para kuli sibuk mengangkat barang dagangan yang diturunkan dari kapal. Di antara kesibukan tersebut, tiba-tiba terdengar letusan meriam beberapa kali sebagai tanda datangnya satu kelompok kapal asing. Mendengar bunyi meriam tersebut, beberapa hulubalang segera merapatkan perahu mereka ke kapal-kapal pendatang tersebut.
“Selamat datang di negeri kami. Jika boleh kami tahu, dari mana dan apa maksud kedatangan Tuan-tuan?” tanya Ketua Hulubalang.
“Hei, bodoh! Saya adalah Jangoi, pemimpin perampok yang ditakuti di Kamboja, Serawak, Brunei, dan Sumatra!” jawab pemimpin rombongan itu dengan sombong. “Jika rakyat negeri ini ingin selamat, tunduklah padaku!” lanjutnya.
Ketua Hulubalang geram melihat kesombongan dan tingkah laku Jangoi dan anak buahnya yang kurang sopan. Tetapi dia masih mempunyai rasa santun.
“Tunggulah di sini, saya akan melaporkan kedatangan kalian kepada panglima kami.”
Ketua Hulubalang segera memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi orang-orang itu agar tidak membuat kekacauan, sementara dia menghadap Panglima Kawal. Mendengar laporan dari Ketua Hulubalang, Panglima Kawal segera memerintahkan beberapa hulubalang untuk mempersiapkan pertahanan negeri.
“Siapkan perahu, aku ingin mengadakan perundingan dengan orang asing itu!” perintah Panglima Kawal setelah pertahanan negeri siap. Panglima Kawal adalah seorang panglima yang cinta damai. Dia memilih jalan perundingan sebelum terjadi peperangan. Dia tidak ingin rakyat sengsara akibat perang. Dengan diiringi beberapa hulubalang, Panglima Kawal menemui Jangoi di atas perahunya.
Walaupun sombong, saat bertemu dengan Panglima Kawal, si Jangoi bertingkah laku sopan. Dia segera menghidangkan sirih lengkap dengan kapur dan pinangnya.
“Silakan, Tuan,” kata Jangoi menawarkan sirih. Panglima Kawal tahu bahwa daun sirih yang dihidangkan adalah daun jelatang, maka dia menolaknya.
Melihat hal itu, tahulah Jangoi bahwa Panglima Kawal tidak makan sirih, melainkan makan bakik. Maka, dikeluarkannya tepak sirih yang berisi beberapa batang bakik. Jangoi sengaja menaruh paku beracun di dalam tepak sirih itu sebagai pengganti bakik.
Panglima Kawal segera mengambil bakik yang dihidangkan itu dan memakannya.
“Mari, Tuan Jangoi,” Panglima Kawal menawari Jangoi untuk turut serta makan bakik itu.
Si Jangoi sangat heran. Dia terdiam beberapa saat. Melihat Jangoi heran, Panglima Kawal mengambil beberapa bakik dan dipatahkan menggunakan jarinya. Jangoi terperangah.
“Bagi orang Riau, bakik seperti inilah pengganti sirih,” ujar Panglima Kawal tenang.
“Maafkan kami, Tuan. Kami menyerah kalah,” kata Jangoi. Dia mengakui tingginya ilmu orang-orang Riau dan membatalkan niatnya untuk menaklukkan Riau.
Jangoi segera memerintahkan anak buahnya untuk meninggalkan Riau. Sebelum layar terkembang, Jangoi mengambil bakik seraya bersumpah, “Jika bakik ini tidak timbul, aku tidak akan datang ke tempat ini lagi.” Selesai berkata demikian, Jangoi melemparkan bakiknya ke laut lepas dan bakik itu tenggelam. Jangoi tidak memikirkan apa yang sudah diucapkan dan dilakukannya.
Waktu terus berlalu. Beberapa tahun berselang, Panglima Kawal meninggal dunia. Seluruh rakyat Riau bersedih kehilangan panglima terbaiknya. Kabar kematian Panglima Kawal segera tersebar dan terdengar oleh Jangoi. Jangoi amat gembira. Ia segera berangkat menggunakan kapal besar untuk menaklukkan Riau.
“Inilah saatnya untuk menguasai negeri yang kaya itu. Kini tidak ada lagi yang akan menghalangi niatku,” gumam Jangoi. Menurutnya, jika Panglima Kawal telah meninggal, pastilah Negeri Riau menjadi lemah.
Sesampai kapal itu di perairan Riau, si Jangoi keluar ke anjungan. Saat kapal melepas jangkar di tempat dahulu Jangoi bersumpah, tiba-tiba dia terjatuh dan sakit. Para tabib yang didatangkan tak mampu menyembuhkannya. Jangoi segera teringat sumpahnya dan menyesalinya. Sebelum meninggal, ia berpesan agar dikubur di tempat ia bersumpah. Beberapa saat kemudian, Jangoi meninggal dunia karena melanggar sumpahnya sendiri.
Anak buahnya kemudian menenggelamkan mayat Jangoi di tempat ia bersumpah, yaitu di antara Pulau Penyengat dan Teluk Keriting. Beberapa saat setelah mayat Jangoi tenggelam, di tempat itu muncul sebuah pulau. Pulau itu kemudian diberi nama Pulau Si Jangoi atau Pulau Paku. Pulau itu masih ada dan dikenal hingga saat ini.
Lanun: bajak laut, perampok.
Jelatang: sejenis daun sirih yang berbisa.
Bakik: batang tumbuhan yang biasa dimakan dengan cara seperti makan sirih
Jelatang: sejenis daun sirih yang berbisa.
Bakik: batang tumbuhan yang biasa dimakan dengan cara seperti makan sirih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar